Membaca Takdir Nusantara: Menuju Indonesia Berdaulat – Prolog BangbangWetan Oktober 2024

Bagikan

Saudara-saudara yang terhormat, dalam hiruk-pikuk zaman yang semakin membingungkan ini, kita dihadapkan pada tantangan besar: takdir Nusantara yang harus kita pahami dan jemput. Kisah Khidir dalam Al-Qur’an adalah refleksi sempurna bagaimana kebijaksanaan Ilahi sering melampaui logika dan pemahaman manusia. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Kahf: “Dan aku melakukan itu bukan atas kehendakku sendiri. Itu adalah perintah dari Allah…” (QS. Al-Kahf: 82). Khidir, sebagai simbol kebijaksanaan tersembunyi, mengingatkan kita bahwa tidak semua yang tampak di permukaan mencerminkan kebenaran sejati. Inilah yang juga kita hadapi hari ini—Nusantara yang kaya raya ini berada di persimpangan, dan kita harus berani membacanya dengan kebijaksanaan yang lebih dalam.

Seperti yang disampaikan oleh Cak Nun, “Kita ini bangsa yang punya modal spiritual besar, tapi sering kehilangan arah karena terlalu fokus pada logika duniawi dan formalitas.” Nusantara ini membutuhkan kebangkitan, tidak hanya dalam pembangunan fisik dan ekonomi, tetapi lebih penting lagi, kebangkitan spiritual. Khidir memberi kita contoh keberanian untuk mengambil jalan yang tidak lazim. Sama seperti Khidir yang merusak perahu untuk menyelamatkan masa depan, kita harus siap merusak “perahu-perahu” kita—yaitu sistem yang selama ini tampak berjalan baik, tapi sesungguhnya membawa kehancuran. Jika ingin berdaulat, kita harus siap untuk mengorbankan kenyamanan semu demi masa depan yang lebih bijak dan berkelanjutan.

Syekh Kamba mengajarkan kita bahwa “Islam yang sejati adalah Islam yang memanusiakan manusia, yang memberi ruang untuk kebebasan berpikir dan mencintai Allah dengan merdeka.” Saat ini, Nusantara sedang mengalami krisis spiritual, di mana manusia terjebak dalam formalitas agama dan melupakan cinta kepada Sang Pencipta. Seperti yang ditulis Syekh Kamba dalam “Mencintai Allah Secara Merdeka”, agama sering kali dijadikan alat kekuasaan oleh segelintir orang, sementara esensi cinta dan ketulusan kepada Tuhan terlupakan. Jika kita ingin melihat Nusantara bangkit, kita harus mulai dari revolusi spiritual, mengembalikan cinta kepada Tuhan yang sejati, dan keluar dari belenggu formalitas yang kaku.

Kebijaksanaan Khidir juga mengajarkan kita untuk melihat jauh ke depan. Sama seperti ketika Khidir membangun tembok untuk melindungi harta anak yatim, kita pun harus membangun “tembok” yang melindungi Nusantara dari kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial, dan eksploitasi tanpa batas. Tugas kita adalah menjaga warisan alam dan budaya Nusantara untuk generasi mendatang. Seperti kata Syekh Kamba, “Kita ini khalifah di bumi, bukan pemiliknya.” Maka dari itu, kita harus bijak dalam mengelola kekayaan Nusantara, bukan hanya untuk keuntungan jangka pendek, tetapi untuk menjaga keberlanjutan bagi generasi selanjutnya.

Nusantara ini terlalu besar untuk terjebak dalam kepentingan-kepentingan kecil. Kedaulatan yang kita cita-citakan tidak akan pernah terwujud jika mentalitas kita masih bergantung pada kekuatan asing. Cak Nun sering mengingatkan bahwa “Kemerdekaan itu dimulai dari kesadaran bahwa kita adalah bangsa besar yang mandiri, baik secara politik, ekonomi, maupun spiritual.” Nusantara yang berdaulat bukan hanya soal merdeka secara politik, tapi juga mandiri dalam segala aspek, termasuk dalam mencintai Allah dan menjalani agama dengan tulus, tanpa terjebak pada prosedur-prosedur formal yang sering kali memisahkan kita dari esensi agama itu sendiri.

Saatnya kita bangkit dari keterpurukan, saatnya kita membaca takdir Nusantara dengan kebijaksanaan Khidir, cinta yang diajarkan oleh Syekh Kamba, dan keberanian yang selalu diserukan oleh Cak Nun. Nusantara ini bukan bangsa kecil yang bisa terus-terusan bergantung pada kekuatan luar. Kita harus berani mengambil langkah radikal, langkah yang tidak populer, tapi benar. Dengan keberanian Khidir, cinta spiritual dari Syekh Kamba, dan visi kebangkitan yang diusung Cak Nun, kita bisa membawa Nusantara menuju kedaulatan yang sejati—tidak hanya di dunia ini, tapi juga di hadapan Allah SWT.

Ayo teko nang Stikosa AWS mene Minggu, 20 Oktober 2024! Awakdewe Sinau Bareng “Membaca Takdir Nusantara” berpijak ambek prolog seng disampekno nang ndukur.

Wayahe bangkit, rek!

Oleh: Tim Tema Bangbang Wetan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *