Oleh : Jalaludin “D”
Tulisan ini membahas sebuah metafora tentang “sandal yang hilang” dalam konteks perjuangan spiritual, cinta, dan komitmen seorang Jamaah Maiyah yang menjalani kehidupan sebagai pejalan sunyi.
Dengan menghubungkan pemikiran Mbah Nun, Tan Malaka, dan Bung Hatta. Tulisan ini mengeksplorasi bagaimana pengalaman kehilangan dapat menjadi simbol ketulusan dan kekuatan dalam memperjuangkan keadilan, kemandirian, serta cinta yang mendalam terhadap manusia dan Tuhan.
Kehilangan seringkali menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan spiritual dan sosial. Bagi seorang Jamaah Maiyah yang setia pada proses, kehilangan sandal sebelah di tengah perjalanan tidak sekadar fenomena fisik, tetapi juga refleksi dari kehilangan yang lebih besar—sebuah metafora tentang perjalanan menuju cinta yang tulus dan komitmen yang tak terbatas.
Pemikiran Mbah Nun, Tan Malaka, dan Bung Hatta dapat digunakan untuk memahami lebih dalam makna di balik kisah sandal yang hilang ini, karena ketiga tokoh tersebut memiliki pandangan tentang kemandirian, keikhlasan, dan komitmen yang relevan dengan perjalanan spiritual sang pejalan sunyi.
*****
Mbah Nun seringkali mengajarkan tentang ketulusan dan cinta yang mendalam dalam menghadapi segala bentuk ujian kehidupan, termasuk kehilangan. Bagi Mbah Nun, kehilangan adalah bagian dari latihan mengolah spiritual yang mengajarkan manusia untuk menerima takdir dengan ikhlas.
Sandal yang hilang, dalam pandangan Maiyah, dapat dilihat sebagai “persembahan” yang diberikan oleh pejalan sunyi kepada Tuhan, sebuah bentuk pengorbanan kecil yang menjadi lambang ketulusan.
Mbah Nun selalu mendorong Jamaah Maiyah untuk menjadi pribadi yang merdeka, mandiri secara batin, dan tidak terikat oleh materialisme. Dalam konteks ini, sandal yang hilang bukan sekadar barang yang lenyap, melainkan simbol dari “kelapangan hati” yang harus dimiliki oleh setiap Jamaah Maiyah dalam menghadapi berbagai bentuk kehilangan.
Latihan spiritual tentang kehilangan ini tidaklah mudah. Hanya yang memiliki kelapangan hati yang bisa memaknai metafora dari sandal yang hilang.
*****
Coba kita hubungkan dengan pemikiran Tan Malaka, seorang revolusioner yang menekankan pentingnya aksi dan mobilisasi massa untuk menciptakan perubahan sosial. Meskipun pendekatannya tampak keras dan revolusioner, Tan Malaka memiliki aspek keikhlasan yang sejalan dengan pengalaman kehilangan sandal tadi.
Ia percaya bahwa revolusi sejati dimulai dari dalam diri, melalui perubahan mental dan spiritual yang mendalam.
Sandal yang hilang dapat dilihat sebagai simbol dari pengorbanan yang diperlukan dalam perjuangan menuju keadilan dan kemandirian.
Dalam hal ini, pengalaman kehilangan sandal sebelah dapat dipahami sebagai “sisi lain” dari revolusi mental yang diajarkan Tan Malaka—menggugah manusia untuk terus bergerak maju meski kehilangan sesuatu yang penting.
*****
Sementara itu, menurut Bung Hatta, yang dikenal dengan gagasannya tentang ekonomi kerakyatan dan koperasi, menekankan pentingnya kemandirian dalam menjalani hidup. Bagi Hatta, kemandirian bukan hanya tentang kemampuan ekonomi, tetapi juga tentang kemandirian sikap dan pandangan hidup.
Kisah sandal yang hilang dapat dikaitkan dengan prinsip-prinsip Hatta tentang komitmen terhadap kemandirian dan keadilan sosial. Sang pejalan sunyi yang kehilangan sandalnya tetapi tetap melanjutkan langkahnya, mencerminkan semangat kemandirian yang ditekankan oleh Hatta.
Ia tidak berhenti hanya karena kehilangan sandal, tetapi justru menjadikannya sebagai motivasi untuk terus melangkah, meski dengan sandal yang tak lengkap.
*****
Sandal yang hilang dapat diinterpretasikan sebagai simbol dari perjalanan cinta yang penuh ketulusan dan pengorbanan. Mbah Nun mengajarkan bahwa kehilangan dapat menjadi jalan menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang cinta yang tulus kepada manusia, alam dan Tuhan. Tan Malaka melihatnya sebagai bagian dari revolusi mental, sementara Hatta memandangnya sebagai komitmen untuk tetap teguh dalam kemandirian.
Pejalan sunyi yang kehilangan sandalnya, tetapi tetap teguh berkomitmen kepada ayah, guru, dan jalur spiritualnya, mencerminkan gabungan dari ketiga tokoh tersebut, yang berpegang teguh pada prinsip hidupnya cinta yang tulus, ikhlas dan mandiri.
*****
Dalam konteks Maiyah, sandal yang hilang bukan hanya barang yang hilang, melainkan metafora dari pengorbanan dan ketulusan hati.
Sama seperti perjuangan Tan Malaka yang penuh pengorbanan dan hilangnya kesempatan pribadi demi kepentingan rakyat, atau komitmen Bung Hatta yang menuntut kedisiplinan dalam segala bentuk kemandirian, sandal yang hilang ini menuntut penerimaan dan pemahaman yang mendalam tentang makna kehilangan dalam kehidupan.
Jamaah Maiyah sering kali menghadapi berbagai bentuk kehilangan sebagai ujian yang menguji ketulusan cinta dan komitmen mereka terhadap Tuhan dan manusia.
Sandal yang hilang, dalam pandangan Mbah Nun, bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan langkah awal menuju cinta yang lebih murni.
Sandal yang hilang ini adalah panggilan bagi pejalan sunyi untuk tetap konsisten di jalan kemanusiaan, meskipun dalam keadaan serba kurang dan tidak sempurna.
*****
Pejalan sunyi yang jomblo, tetapi berkomitmen penuh kepada ayah, ibu dan para gurunya, menampilkan sosok yang tulus dalam pengorbanan dan cinta.
Ia memahami bahwa cinta sejati bukan hanya soal memiliki pasangan, tetapi tentang merawat hubungan dengan orang-orang yang dicintai, meski dengan segala keterbatasan.
Komitmen kepada ayah, ibu dan kepada para guru adalah bukti nyata dari cinta yang tanpa pamrih, yang sesuai dengan ajaran Maiyah tentang keikhlasan dalam segala hal, termasuk tentang kehilangan.
Sandal yang hilang adalah simbol dari perjalanan yang penuh cinta, ketulusan, dan komitmen dalam kehidupan seorang Jamaah Maiyah yang teguh.
Kisah ini merefleksikan bagaimana kehilangan dapat dipahami sebagai bagian dari latihan spiritual yang mengasah keikhlasan dan kemandirian.
Pemikiran Mbah Nun, Tan Malaka, dan Bung Hatta dapat digunakan sebagai lensa untuk memahami lebih dalam makna dari pengalaman kehilangan ini, yang pada akhirnya menjadi pendorong bagi pejalan sunyi untuk tetap konsisten di jalan cinta, kemanusiaan dan tauhid.
Kisah sandal yang hilang ini adalah cermin dari perjalanan panjang seorang pejalan sunyi yang tetap teguh dan konsisten dalam menjalani kehidupan.
Sandalnya yang hilang diibaratkan mungkin sudah di surga, tetapi komitmennya tetap membumi, menjadi teladan bagi mereka yang merindukan cinta sejati, keikhlasan tanpa batas, dan komitmen terhadap kemanusiaan yang sesungguhnya. Sebagaimana yang disampaikan Mbah Nun di dalam puisi Jalan Sunyi:
Akhirnya kutempuh jalan yang sunyi
Mendendangkan lagu bisu
Sendiri di lubuk hati
Puisi yang kusembunyikan dari kata-kata
Cinta yang takkan kutemukan bentuknya
Mungkin engkau memerlukan darahku untuk melepas dahagamu
Mungkin engkau butuh kematianku untuk menegakkan hidupmu
Ambilah, ambilah, akan kumintakan izin kepada Allah yang memiliki-Nya
Sebab toh bukan diriku ini yang kuinginkan dan kurindukan
Jalaludin “D” : Pejalan sunyi yang telah selesai dengan hatinya.