Oleh : Prayogi R. Saputra
Malam belum benar-benar larut. Mungkin, jam dinding di luar kamar baru menunjuk pukul sepuluh malam. Tapi suara-suara bluk theng biadab itu membatalkan acara tidur Saridin. Matanya yang sudah liyep-liyep pun kembali blolok-blolok. Mendadak, kantuk Saridin lenyap, kabur entah kemana. Suara bluk teng yang riuh memecah keheningan malam di pedesaan. Ayah Saridin bangkit dari tempat tidur dan keluar rumah. Sebaliknya, Ibu Saridin agaknya ketakutan. Dia memeluk adik Saridin yang masih bayi, erat-erat. Sebentar kemudian, Ayahnya kembali masuk kamar.
“Ada apa, Pak e?”
“Pak Bogank ilang?”
“Pak Bogank? Kok aneh-aneh lho! Hilang bagaimana?”
“Ya hilang.”
“Lha iya kok bisa hilang. Ya kalau anak-anak, mungkin tersesat tidak tahu jalan pulang atau gimana. Lha ini orang dewasa kok hilang, itu nalare bagaimana?” Ibu Saridin bangkit dari tempat tidur. Menggendhong adiknya yang meringik.
“Kata orang-orang sudah tiga malam Pak Bogank ndak pulang. Dia nepi di bekas kandang sapi di belakang rumahnya. Tapi kata Lek Su, kemarin ya masih ada di sana. Tapi habis isya’ tadi Lek Su ke kandang. Pak Bogank sudah tidak ada.”
“Ya mungkin kan kemana gitu?”
“Yo embuh! Cuma mereka bilang Pak Bogank digondhol lelembut. Makhluk halus.”
“Lha iya. Lagipula kok ya nganeh-anehi. Punya rumah, punya anak istri kok malah seneng tidur di kandang.”
“Cari wangsit katanya. Wangsit buntut.”
“We lha blaen itu.”
Suara-suara tampah, tumbu, panci dan tutup panci yang ditabuh secara berirama kembali mendekat. Orang-orang berteriak memanggil-manggil nama Pak Bogank. Semakin malam, nampaknya semakin banyak orang yang ikut mencari Pak Bogank. Ayah Saridin kembali keluar rumah. Sementara Saridin sedikit ketakutan. Malam merambat kian larut dan Pak Bogank belum juga ditemukan.
Dan begitulah, keesokan harinya seisi desa ramai dengan berita hilangnya Pak Bogank. Dengan kecepatan angin, berita tersebar dari satu pedukuhan ke pedukuhan lain. Sebagian dibawa orang-orang yang pergi ke sawah. Sebagian lagi dibawa oleh orang-orang yang pergi ke pasar. Sementara, sisanya disebarkan oleh burung-burung gereja yang lalu-lalang berkeliaran di pedukuhan. Hingga di sekolah dasar Tjigrok pun, anak-anak membicarakan hilangnya Pak Bogank.
Seperti kebiasaan orang-orang Tjigrok, solusi pertama dari hampir semua persoalan yang tidak bisa dijamah nalar adalah “orang pintar”. Maka, Lek Su, istri Pak Bogank pun mendatangi beberapa orang pintar untuk meminta pendapat dan solusinya. Orang pintar pertama yang didatangi tentu saja Mbah Rimin, tetangga satu pedukuhan.
Menurut Mbah Rimin, Pak Bogank sedang diajak oleh Nyi Roro Kidul. Mungkin sedang diajak jalan-jalan. Mungkin juga sedang diajak ke keratonnya. Tapi, Mbah Rimin tidak memberikan penjelasan lebih jauh. “Hanya itu informasi yang boleh aku sampaikan kepadamu,” begitu kata Mbah Rimin kepada Lek Su. Begitulah sifat informasi ghaib, tidak sepenuhnya bisa dibuka. Seringkali, penuh lambang dan metafora.
Belum puas dengan kesimpulan dari satu orang pintar, Lek Su pun mencari orang pintar lain untuk mengkonfirmasi dugaan Mbah Rimin. Orang pintar kedua ini berasal dari wetan kali, seberang timur Bengawan Madiun. Dan informasi dari orang pintar kedua ini pun serupa meski tak sama dengan informasi dari Mbah Rimin. Namun, informasi darinya lebih lengkap dan memberikan harapan pada Lek Su. Menurutnya, Pak Bogank sedang dipinjam oleh makhluk halus. Dan nanti di hari ketujuh, Pak Bogank akan dikembalikan kepada keluarganya.
Demi mendengar jawaban itu, Lek Su memutuskan tidak lagi mencari orang pintar. Dia mengambil sikap berpegang pada jawaban orang pintar dari wetan kali bahwa di hari ke tujuh, Pak Bogank akan dikembalikan. Itu jawaban yang diinginkan oleh Lek Su.
Hari-hari pun berlalu. Orang-orang Tjigrok melewati hari seperti biasanya. Cerita tentang hilangnya Pak Bogank seperti menguap. Hanya saudara dan tetangga kiri-kanan Pak Bogank saja yang masih sering berkunjung menemani dan menghibur Lek Su. Sementara, Lek Su juga tidak lagi nampak terpukul. Wajahnya sudah mulai cerah karena memiliki harapan bahwa Pak Bogank akan pulang. Meskipun di dalam hati kecilnya, dia tetap menyimpan kecemasan.
Jangan-jangan, Pak Bogank tidak benar-benar dipinjam makhluk halus. Itu artinya, di hari ke tujuh, dia tidak akan pulang. Jangan-jangan, Pak Bogank sebenarnya lari dari rumah. Dia ingin melarikan diri dari permasalahan rumah tangga yang rumit. Orang yang hidup dalam kubangan kemiskinan, akan mudah saja memutuskan untuk lari dari kenyataan yang dihadapinya.
Para tetangga pun, meski dengan diam-diam, mereka menunggu akhir dari teka-teki misteri Pak Bogank. Apakah Pak Bogank benar-benar akan pulang? Ataukah dugaan dari orang-orang pintar itu hanya isapan jempol belaka? Kalau akhirnya Pak Bogank pulang dan benar-benar dipinjam oleh makhluk halus, apakah kepercayaan orang-orang Tjigrok kepada orang pintar semakin menebal? Demikian pula sebaliknya, kalau ternyata Pak Bogank tidak pernah pulang lagi, atau pulang tapi pengakuannya tidak sedang dipinjam makhluk halus, apakah kepercayaan orang-orang Tjigrok kepada orang pintar akan runtuh?
Hingga hari ketujuh pun tiba. Orang-orang Tjigrok berdebar-debar. Inilah hari yang diramalkan orang pintar sebagai hari kepulangan Pak Bogank. Lebih tepatnya, hari Pak Bogank dikembalikan oleh makhluk halus kepada keluarganya. Sejak pagi buta, para kerabat sudah berkumpul di rumah Pak Bogank. Demikian pula para tetangga. Mereka berkumpul di dalam rumah, di beranda atau berkerumun di sekitar rumah. Beberapa orang menunggu di sepanjang jalan menuju rumah pak Bogank.
Namun, hingga hari telah siang, tak ada tanda-tanda Pak Bogank akan pulang. Lek Su mulai gelisah. Para kerabat saling menguatkan. Sementara, para tetangga mulai kasak-kusuk. Benarkah kata orang pintar itu bahwa hari ini Pak Bogank akan pulang. Jangan-jangan, salah menghitung hari. Atau jangan-jangan, cerita tentang dipinjam makhluk halus dan akan dikembalikan itu hanya karangan belaka. Jangan-jangan. Jangan-jangan. Segala jangan-jangan mengerumuni pikiran Lek Su, para kerabat dan tetangga.
Hingga tengah hari, tidak ada tanda-tanda Pak Bogank akan datang. Maka, para tetangga satu demi satu mulai pulang. Jalanan menuju rumah Pak Bogank yang sejak pagi dijaga orang, kini sudah sepi. Demikian juga beranda dan rumah. Hanya tinggal beberapa orang tetangga dan kerabat dekat saja. Lek Su duduk diam di atas tikar mendhong buatan sendiri, menghadap ke barat. Tatapan matanya kosong. Harapannya nyaris habis. Dia sudah mulai menyiapkan diri jika Pak Bogank memang tak akan pernah pulang. Selamanya.
Menjelang sore, harapan orang sudah benar-benar habis. Para kerabat mulai membereskan rumah. Mereka bersiap untuk pulang. Burung-burung sudah mulai pulang ke sarang. Serangga-serangga malam mulai keluar. Adzan maghrib hampir berkumandang. Di saat itulah, seorang kerabat jauh Pak Bogank tergopoh-gopoh datang.
“Bapake Jito temu! Bapake Jito temu!” Begitu teriaknya sambil merangsek masuk ke dalam rumah. Dia menubruk Lek Su.
“Bapake Jito muleh, Yu! Bapake Jito muleh!” katanya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Lek Su. Sontak seisi rumah riuh. Jeritan, teriakan gembira dan tangis bahagia campur menjadi satu.
“Bapake Jito muleh, Yu! Sekarang dia di rumahku.”
(bersambung)
Jamaah Maiyah, Penulis Buku Spiritual Journey Emha. Sedang terdampar mengais pengetahuan pada program Doktor di Universitas Islam Internasional Sultan Abdul Halim Muadzam Shah, Malaysia.