Hari menjelang siang. Anak Taman Kanak-kanak sudah beberapa lama, pulang. Langit biru. Sebiru-birunya biru. Tak nampak setitik pun awan yang membuat noda. Angin segar berhembus dari persawahan di belakang rumah Bunder. Gunung Lawu yang angkuh membuat pagar lembah Takeran nun jauh di sisi barat. Di langit, seekor Elang Jawa melayang berputar-putar mengincar mangsa. “Uluuuuung!!! Uluuuuuung!!!” terdengar teriak anak-anak dari kejauhan. Rupanya, mereka sedang mengusir elang di langit agar tak turun ke bumi, dan menyambar anak-anak ayam peliharaan mereka.
Saliyah berjalan membungkuk-bungkuk menuju dapur rumah Bunder. Dia menggendong senek, berisi dagangan. Seperti Bunder, seluruh rambut Saliyah juga telah memutih. Wajahnya tirus, tubuhnya kurus. Tapi, tiap hari nenek-nenek itu masih kuat berjalan kaki berkilo-kilometer untuk menjajakan dagangannya: sepuluh-duapuluh lembar tempe bungkus daun, beberapa bungkus kecil bawang putih dan barang merah. Sebungkus dua bungkus garam, sebungkus kecil minyak goreng curah, beberapa ikat sayuran segar, lada, ketumbar, dan beberapa rempah lain.
Sampai di dapur Bunder Saliyah menurunkan dagangannya. Bunder, Jumarni pun langsung menyambutnya dengan hangat. Dagangan tidak dibongkar. Senek ditelantarkan begitu saja. Bunder menawari Saliyah minum. Dia menyodorkan kendi kepada Saliyah. Saliyah mengangkat kendi dan langsung mengucurkan air dari kendi ke mulutnya.
“Yu! Yu!” kata Bunder kemudian.
Saliyah mengangguk.
“Ono geger, Yu!”
Saliyah mendekat,”Gek geger opo? Wong ayem tentrem ngene kok?”
“Halah, ayem opo, Yu? Ngene loh Yu?” kata Bunder berbisik.
“Mar, hamil.”
“Hamil,” Saliyah terperanjat.
“Masih perawan kok hamil?”
Mata Bunder mengerdip-kerdip.
Jumarni yang baru saja mendekat ke pawon untuk membetulkan kayu bakar ikut berkomentar,”Yadi!” katanya lirih.
“He?” Saliyah tidak paham.
Jumarni mendekat,”Yadi.”
“Yadi, kenapa?” tanya Saliyah tak kalah lirih.
Marni mendekatkan wajahnya ke wajah Saliyah “Dia pelakunya.”
“Yadi?”
Marni mengangguk meyakinkan.
“Yadi yang mana?”
Marni menunjukkan jarinya ke satu arah.
“GustiAllah nyuwun ngapuro?” pekik Saliyah. Kali ini, dia tidak bisa mengontrol suaranya.
“Suaminya Samini?” kembali suara Saliyah lirih.
Marni mengangguk.
“Terus bagaimana?”
“Sstttttt……..!!!!!”
Obrolan terjeda karena seseorang lewat di dekat mereka.
Bunder mendekat ke pawon, mengecek kuali yang letaknya di lubang depan. Lalu, menggesernya ke lubang belakang dan menukar kuali di lubang belakang digeser ke depan. Meletakkan kukusan bambu, kemudian memindahkan nasi setengah matang itu ke kuali yang ada kukusannya. Sisa air dari nasi setengah matang itu dimasukkan gelas.
“Tajinnya buat siapa, Mbok?” tanya Marni.
“Siapa-siapa yang mau?” kata Bunder.