Oleh : Prayogi R. Saputra
Mentrik seorang guru Sekolah Dasar. Dia belum satu tahun diangkat jadi pegawai negeri. Setiap pagi, dia mengenakan seragam guru dan berangkat mengajar di sekolah yang jauh dari tempat tinggalnya. Perjalanan hampir 15 kilometer itu dilalui dengan melintasi beberapa jembatan dan sekali menyeberangi sungai kecil yang belum memiliki jembatan.
Di sungai kecil itu, ada sebuah rakit bambu yang dioperasikan oleh dua orang tua untuk membantu orang-orang menyeberang. Setiap waktu, selalu ada orang-orang yang mengantri untuk menyeberang. Setelah tiba di seberang sungai, biasanya mereka akan memberikan uang jasa alakadarnya dengan melemparnya ke kaleng biskuit yang disediakan di haluan rakit.
Suatu pagi di musim hujan, Mentrik berangkat ke sekolah seperti biasanya. Dia mengenakan blazer dan rok warna abu-abu pemberian pemerintah. Menjelang sungai kecil, orang-orang yang hendak menyeberang harus melewati jalan yang menurun di tengah pokok-pokok bambu. Jalan itu berubah jadi timbunan debu di musim kemarau dan licin serta berlumpur di musim hujan. Mentrik turun lalu menuntun sepeda motornya. Dan sial, jalanan terlalu licin. Mentrik jatuh terperosok ke kubangan lumpur. Sedangkan sepeda motor menimpa sebagian kakinya. Tak ada seorang pun di sana. Sementara, rakit sedang menunggu penumpang di seberang.
Mentrik mencoba bangkit tanpa bantuan siapa pun. Tapi, dia kesulitan. Sampai beberapa menit, seseorang datang. Laki-laki muda itu mengenakan seragam tentara lengkap dengan sepatu boots. Dia seorang Sersan. Melihat Mentrik terduduk di lumpur, dia bergegas membantu Mentrik. Mereka bersitatap. Sersan muda itu bertubuh tinggi, hidung mancung dan tatapan mata yang tajam. Pakaian Mentrik belepotan lumpur. Sersan muda itu membantu Mentrik turun ke sungai dan sedikit membersihkan pakaiannya. Bukan itu saja, Sersan muda itu menawari Mentrik untuk mengantarnya pulang. Entah mengapa Mentrik tak kuasa menolaknya.
Setelah hari Sersan muda itu mengantarkan Mentrik pulang, dia sering berkunjung. Lebih-lebih di hari-hari libur. Mentrik selalu menyambut baik kedatangan Sersan. Sedangkan orang tuanya juga baik menyambutnya, namun seperti menyembunyikan kekhawatiran.
Hari-hari selanjutnya, Mentrik nampak lebih bersemangat. Pagi-pagi, dia akan menyiapkan diri dan berangkat ke sekolah lebih pagi dibanding hari-hari sebelumnya. Dia mulai sering bernyanyi-nyanyi sendiri di saat-saat senggang. Dia juga mulai suka berdandan. Rambut jagungnya dikeriting. Beberapa kali, Mentrik nampak membeli pakaian baru.
Suatu kali, beberapa bulan kemudian, Sersan muda itu mengajak Mentrik ke acara vakansi. Bapak Mentrik awalnya ragu untuk mengizinkan. Dia beralasan tak elok mengizinkan anak perawan keluar bersama laki-laki muda. Apalagi, laki-laki muda itu baru beberapa bulan dikenalnya. Mentrik sempat ngambek. Dia menolak makan dan bicara kepada Bapaknya yang jangkung itu. Di malam hari, Mentrik menangis di kamarnya. Hingga lewat tengah malam.
Pagi-pagi, sebelum berangkat ke sekolah, Bapak Mentrik menemuinya di dapur dan mengatakan Mentrik boleh pergi dengan sang Sersan dengan syarat benar-benar acara vakansi bersama rombongan teman-teman tentara. Tidak boleh jika hanya berdua. Mentrik tersenyum kecil. Dia mengangguk dan segera berangkat.
Di tepi sungai kecil, sebelum turun ke rakit. Hampir setiap hari Sersan muda akan menunggu Mentrik. Lantas mereka akan naik rakit bersama. Di seberang, setelah menaiki jalan setapak akses ke sungai di sela-sela kebun singkong dan rimbun bambu, Mentrik akan mengambil jalan ke kanan, menuju ke sekolahnya. Sementara Sersan muda akan mengambil jalan ke kiri, menuju ke markasnya. Di atas rakit, kebetulan tak ada orang lain yang menyeberang selain mereka berdua, Mentrik menyampaikan kabar gembira, dia diizinkan Bapaknya mengikuti acara vakansi bersama Sersan muda. Mereka berdua tersenyum dan saling bertatapan.
Beberapa bulan kemudian, Sersan muda menyampaikan niatnya kepada Mentrik kalau dia ingin menemui orang tua Mentrik secara khusus. Dia akan mengajak serta orang tuanya yang tinggal ratusan kilometer dari Tjigrok. Mentrik terlonjak gembira dan mengatakan akan menyampaikan rencana itu lebih dulu kepada Bapaknya.
Petang harinya, usai matahari terbenam, Mentrik menemui Bapaknya di ruang tengah. Bapak Mentrik sedang berdiam diri, berkaus oblong putih merk 555, sambil menepuk-nepuk telapak kaki kirinya dengan tangannya. Sarungnya tersingkap sampai hampir ke lutut Di hadapannya, satu gelas besar teh melati tubruk masih utuh, belum disentuh. Mentrik duduk di samping Bapaknya.
“Mas Mono berniat mengajak orangtuanya ke sini, Pak?” kata Mentrik hati-hati.
Bapaknya diam. Mentrik menunggu. Dua ekor cicak di dinding merayap, saling berkejaran, seperti sedang kasmaran. Desis lampu petromak mengisi kesunyian. Bayang-bayang mereka berdua terpantul di tembok belakang, diam tak bergerak.
“Bagaimana perasaanmu?”
Bapak Mentrik angkat bicara setelah kesunyian yang agak panjang. Dia mengangkat kacamatanya.
“Seneng, Pak.”
“Benar?”
Mentrik mengangguk.
“Kamu yakin?”
“Nggih, Pak.”
Bapak Mentrik menahan nafas sejenak.
“Begini Mentrik, kamu tahu tugas tentara?”
“Nggih, Pak?”
“Mereka akan dikirim ke Timor-timur.”
Mentrik menunggu.
“Tak ada tentara yang pulang setelah dikirim ke Timor-timur. Bapak ndak mau kamu ditinggal tugas jauh.”
“Itu sudah Mentrik pikirkan, Pak.”
“Bagaimana kalau dia ndak pernah pulang?”
Mentrik diam. Bapaknya juga diam. Dua ekor cicak tadi saling mendekatkan wajah. Mereka seperti berciuman. Bapak Mentrik mengangkat gelasnya, sambil berdiri.
“Carilah suami, asal jangan tentara,” begitu tukasnya sambil berlalu pergi ke ruang depan.
Seketika, Mentrik berlari ke kamarnya dan berikutnya terdengar suara pintu dikunci dengan sedikit kasar. Terdengar suara isak dari dalam kamar. Lampu petromak meredup, pertanda perlu dipompa lagi. Bapak Mentrik menurunkan lampu petromak, matanya berkaca-kaca. Dia tahu, Mentrik tak akan pernah lolos screening untuk jadi istri tentara. Dan itu karena kesalahannya dimasa lalu.*
Jamaah Maiyah, Penulis Buku Spiritual Journey Emha. Sedang terdampar mengais pengetahuan pada program Doktor di Universitas Islam Internasional Sultan Abdul Halim Muadzam Shah, Malaysia.