Oleh : Yulianita
Umur ke-18 bagi umumnya orang Indonesia adalah masa lulus SMA untuk lanjut ke tahapan baru kehidupan. Tahap tersebut bisa berarti dunia perkuliahan, memasuki pasar kerja, atau pada beberapa individu memulai hidup baru di Lembaga pernikahan. Lalu, tahapan baru apa yang anda harapkan dari usia ke-18 BangbangWetan (BbW)? Sebelum ke arah sana, ada baiknya kita kembali ke masa-masa awal, saat BbW “terbit”, bila mengacu pada makna terbitnya sang surya sebagai metafora atau “dilahirkan”, sebagaimana Maiyah mengistilahkan setiap anasir yang disebut sebagai organisasi, perkumpulan, komunitas atau asosiasi oleh peristilahan yang berlaku di luaran.
Waktu itu tahun 2006, masa yang cukup stabil bagi kehidupan sosial-politik Indonesia, berbeda dengan saudara tua lainnya—sebut saja Mocopat Syafaat, Kenduri Cinta dan Gambang Syafaat yang lahir di masa transisi sosial-politik. Apakah itu artinya BbW terlambat lahir? Dan mengapa baru lahir di masa kondisi yang relatif stabil? Pertanyaan ini seharusnya tidak perlu keluar. Lahir ya lahir, tidak ada kata terlambat, apalagi jika dikait-kaitkan dengan kondisi eksternal. BbW tidak perlu dihubung-hubungkan dengan kondisi Indonesia atau kondisi apapun lainnya. BbW adalah tempat berkumpul para enthusiast-nya, walaupun selalu ada tema khusus dalam setiap pertemuannya. Cakupan pembahasan bisa sangat luas dan sesuai dengan kondisi terkini. Penulis tidak punya data apa yang dibahas pada pertemuan awal-awal BbW, tapi bayangkan saja dalam pertemuan-pertemuan awal itu ada bahasan tentang Italia yang kembali menjadi juara dunia setelah menunggu puluhan tahun, tentang cita-cita reformasi yang masih menggelora, dan dalam lingkup lokal, pembahasan berfokus pada tema-tema khusus Suroboyoan dan Jawa Timur secara lebih mendalam.
Satu hal yang bisa kita bayangkan bersama adalah pada masa itu, informasi terkait pertemuan-pertemuan BbW belum menggunakan sosial media seperti sekarang. Cara manual dari mulut ke mulut membuat pertemuan lebih seperti perkumpulan terbatas. Saat ini, seperti yang kita lihat bersama di malam milad ke-18 BbW kemarin, tidak kurang dari 3000 orang hadir di Lapangan Tugu Pahlawan dengan informasi utama sudah pasti melalui sosial media. Jika bisa diibaratkan, pemuda-pemudi berusia 18 tahun, lebih mudah memberitahukan aktivitasnya ke orang lain dibandingkan dengan masa awal BbW yang seperti bayi baru lahir yang hanya bisa berkomunikasi terbatas dengan orang tuanya. Penetrasi sosmed juga yang berhasil membuat jangkauan BbW saat ini mayoritas pada kaum muda, berbeda pada pertengahan tahun 2000-an saat kaum Milenial sekarang masih masuk usia SMP-SMA, bahkan Gen-Z baru mulai belajar berjalan. Dua generasi inilah yang kita lihat mendominasi kehadiran malam milad ke-18 kemarin.
Pada tahun 2006, saat BbW mulai melangkah, Letto baru mengeluarkan satu album yang salah satu lagunya terus diputar hingga kini dan sekarang seperti yang kita saksikan bersama, lagu-lagu yang kita dengar pada malam milad itu membuat Letto berhasil menyihir hadirin bagai sebuah konser yang setiap lagunya bisa diikuti oleh semua yang hadir. Itu juga yang terjadi dengan BbW itu sendiri, jamaah yang hadir sudah memahami arah pertemuan, bahkan sudah menyiapkan pertanyaan, curhatan, ataupun hanya sekadar unek-unek berdasar tema yang telah diumumkan sebelumnya melalui sosmed. Milad ke-18 BbW berhasil menunjukkan bahwa BbW tidak berkembang sendirian, namun secara natural berhasil membuat jamaah mampu menyampaikan gagasan, keluhan dan kegelisahan mereka secara lebih kritis dan matang.
Kembali ke pertanyaan di awal, apa yang Anda harapkan dari usia ke-18 BbW? Manusia pada umur tersebut umumnya tetap membutuhkan bimbingan orang tua atau keluarga untuk membuat keputusan dan tahapan apa yang mesti ditempuh terkait masa depan. BbW mau minta bimbingan ke siapa? Dewan pembina? Pemerintah? Atau sepertinya BbW tidak membutuhkan bimbingan? Tidak juga. Idealisme tidak akan menghasilkan apapun jika tidak mampu adaptif dengan kondisi yang dihadapi. BbW bisa menjadikan saudara- saudara di kota-kota lain–kakak maupun adik bila menggunakan terminologi waktu keberadaan. Atau apabila pertanyaan-pertanyaan dari peserta dapat diambil intisarinya dan menjadikannya sebagai sarana belajar, BbW itu sendiri–penulis yakin–akan mampu berkembang lebih jauh lagi. Ketika orang tua dapat, secara open minded, menerima kritik dan masukan dari anaknya yang lebih update atas kondisi kekinian, maka jauh lebih banyak manfaat yang akan didapatkan orang tua dibandingkan dengan memarahi sang anak. Dan dengan meningkatkan komunikasi antar simpul, maka masalah-masalah yang terjadi dan solusi yang sudah diterapkan di masing-masing lingkaran akan menjadi ladang ilmu serta penambahan khasanah kebijakan bagi BbW jika menghadapi kendala sejenis. Namun, tentu saja menghindari masalah jauh lebih efektif dibandingkan menyelesaikan masalah.
Fatwa Hati, tema BbW saat itu, sekaligus salah satu lagu yang Letto bawakan, meminta seorang pecinta untuk bersabar menunggu. Untuk tulus memegang janji selamanya. Semoga dengan milad ini, BbW dan penggiatnya juga bisa secara konsisten menjaga niat tulus BbW.
Yulianita, jamaah maiyah yangg berasal dari Sidoarjo. Bisa disapa melalui Facebook @yulianita.