Oleh : Eren Sugiharto
Coba kau bayangkan sejenak: ada orang-orang yang mendedikasikan hidupnya untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, tak menunggu hingga semua sempurna dalam hidupnya untuk mengabdi, hanya nama tanpa gelar, tanpa status, tanpa gaji mentereng. Mereka datang ke lingkaran Maiyah BangbangWetan (BBW) dengan satu niat, hidup dalam nilai-nilai, bukan untuk memperoleh kehidupan lebih “mapan.”
Mereka yang bersetia pada Maiyah dan merawat nilai luhur di BBW ini hidup jauh dari kesan nyaman bahkan belum aman. Ya, sebagian dari mereka mungkin pulang ke rumah dengan sisa penghasilan yang terbatas, menghadapi beban kesepian yang menusuk, ada juga yang pulang dengan sandal yang hilang, kemudian tak bisa lagi membeli dengan merk dan kualitas sepadan. Ironis! Lucunya, di tengah kesempitan finansial yang seperti itu, alih-alih memperbaiki keadaan finansial pribadi,energi yang ada malah digunakan untuk merawat BBW, dengan dalih yang entahlah.
Berbicara tentang Maiyah bukan hanya soal kumpulan ceramah, tembang, atau aksi spiritual kopong. Mereka berdiri di balik panggung, dalam hal ini forum BangbangWetan, tak sekadar hadir. Lebih ke menyedekahkan waktu, tenaga, bahkan uangnya yang sedikit itu, untuk menyuarakan keresahan sosial, serta nilai-nilai yang sering kali dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Mereka mengisi relung batin yang sering kali dibiarkan kosong oleh ambisi-ambisi semu. Ironis? Jelas. Apresiasi? Gak butuh. Bahkan ada saja cibiran entah karena mereka salah, atau memang pencibir itu problematik.
Di balik penampilan khas sederhana, warna sandangan pudar, kadang juga bau matahari, ada perjuangan finansial yang sedikit orang tahu. Namun, tak sekali pun mereka berpikir untuk mencari laba atau menuntut balas atas setiap kontribusi. Tak peduli bahwa hidup terus dililit kekurangan. Dalam pandangan mereka, nilai-nilai Maiyah yang mereka rawat jauh lebih berharga. Mereka tidak mencari balasan dari dunia, karena dedikasinya adalah bentuk pengabdian. Seperti tagline Milad 18th BangbangWetan “Ruang kebersamaan merawat Tanduran Mbah Nun”. Hal ini sebenarnya tidak membuat saya kaget-kaget amat, mengingat ada satu tulisan dari Mbah Nun yang relevan untuk mereka.
Aku dititipi perjuangan bersama engkau semua anak-anak dan cucu-cucuku. Perjuangan yang meskipun engkau dikepung oleh kegalapan, tapi engkau tetap sanggup menerbitkan cahaya dari dalam dirimu.
Meskipun engkau terbata-bata di jalanan yang sangat terjal, engkau tetap mampu menata kuda-kuda langkahmu sehingga keterjalan jalan itu bergabung ke dalam harmoni tangguhnya langkah-langkahmu.
Meskipun engkau ditimpa, ditindih, dihajar dan seakan-akan dihancurkan oleh beribu beban dan permasalahan, tetapi engkau justru menjadi anak-anak cucu-cucuku yang mengubah jalanan itu menjadi rata bagi semua orang. Beban-beban itu menjadi tenaga masa depan yang dinikmati semua orang. Dahsyatnya permasalahan yang memerangimu itu menjadi bahan bakar yang kau sebar ke seantero bumi sehingga digunakan oleh semua orang untuk bangkit dan tegak membangun hari-hari esoknya.
Sudah semakin banyak jumlah anak-anak cucu-cucuku yang kulihat sanggup mengubah kegelapan menjadi cahaya, beban menjadi tenaga, tindihan menjadi penyangga, derita menjadi gembira.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
Yogya 13 Pebruari 2016(Daur 1)
Akankah kita yang menikmati nilai-nilai itu, hanya terus menyaksikan mereka berjalan sendirian? Atau suatu hari, akan bangkit untuk membersamai mereka? Atau biarkan saja mereka sedang men-Daur nasib.
Eren Sugiharto, Sinis, Skeptis, Tidak Quotable, bisa disapa melalui vodkid99@gmail.com