MENAKAR RUANG AJAR – Reportase BangbangWetan November 2024

Bagikan

Jalanan Surabaya tampak sibuk seperti biasa. Kota Metropolitan dengan beraneka warna kehidupan. Padatnya lalu lintas saat jam pulang kerja dan arus pulang kampung menjadi suguhan yang lumrah di setiap akhir pekan.

Di sudut kota, tepatnya di sepanjang Kali Jagir, jalanan Nginden Intan berjejer pedagang asongan yang menjajakan dagangan. Banyak anak kecil bermain, berlari, dan bersepeda di sepanjang bantaran kali seolah menyuarakan “kami juga  ingin menyibukkan diri”.

Di tengah perhelatan panggung kesibukan kota Surabaya, Majelis Masyarakat Maiyah BangbangWetan menggelar rutinan edisi November 2024 dengan tema “Menakar Ruang Ajar” yang bertempat di Stikosa AWS.

Berdiri megah panggung rigging dihiasi gemerlap lampu sorot, jajaran sound system, dan dekorasi penuh warna. Latar belakang panggung berwarna hijau dengan kursi putih berbaris menunggu setiap kebersamaan yang hadir mengisinya.

18.00     Beberapa pengisi acara melangsungkan gladi bersih. Kios Pojok Ilmu mulai menata Buletin Maiyah Jatim dan merchandise Maiyah. Tim Keputrian BbW tidak kalah sibuk menyiapkan konsumsi jamaah di meja registrasi. Mbak Naila, Mbak Nora, dan Mbak lainnya tampak meladeni setiap jamaah yang hadir dengan senyum hangat.

Alhamdulillah, pada rutinan kali ini, kami mendapat kesempatan berbagi berkah untuk jamaah. Terima kasih atas kepercayaan dan amanah setiap donatur #BerbagiBerkah lewat BangbangWetan.

18.30     Penggiat BbW yang dikomandoi oleh Mas Doni dan Mas Fatih memastikan ulang kesiapan venue acara. Tim Dokumentasi: Mas Alik n friends, Mas Beni, dan Mas Muqit asyik bercengkrama dengan kamera mengambil setiap momen kebersamaan.

19.00     Nderes Juz 1–3 (Al Fatihah–Ali ‘Imran ayat 91). Mas Wildan dan Mas Jembar mengatur pembagian bacaan Tim Nderes. Lantunan Kitab Suci Al Quran dibacakan, menyibak kalbu setiap insan.

19.15     Jamaah mulai berdatangan dan mengisi setiap ruang kosong. Berbagai lapisan elemen masyarakat hadir. Pemuda-pemudi dengan peci Maiyah merah putih, santri-santri dengan bendera syekhermania yang siap dikibarkan, ada yang berseragam kaos Maiyah, kaos BangbangWetan, dan yang tidak luput kaos Bonek Maiyah pun turut hadir. Mungkin ada juga yang datang karena menganggur, “tunaasmara”, atau “dijebak” temannya. Apapun alasannya, kita semua dipertemukan di sini dalam ruang kebersamaan Majelis Ilmu BangbangWetan.

20.15     Band Bupala asal Sidoarjo, menyajikan musik heavy metal dengan nuansa pergerakan. Aransemen musik yang unik, rock underground dipadukan dengan musik klenik dengan lirik sarat akan harapan perubahan.

20.30     Mas Amin Ungsaka dan Mas Yasin yang berperan sebagai moderator Majelis Ilmu BangbangWetan edisi November 2024, beranjak menaiki panggung.  Mas Amin mencoba mencairkan suasana dengan melontarkan pertanyaan ke jamaah juga mengabsen asal daerah.

20.40     Tidak kurang dari 30-an personel Tim Hadrah Masjid A. Aziz Stikosa berbondong-bondong meramaikan panggung dengan pakaian serba putih. Lampu sorot pun ikut menari seiring hentakan hadrah. Sholawat Sidnan Nabi dan Ta’dzhimul Qiyam menggema di penjuru halaman.

21.15     Moderator kembali memandu jalannya acara. Menginformasikan kehadiran narasumber dan membuka prolog Majelis Ilmu BangbangWetan edisi November 2024. Ratusan jamaah di setiap sudut halaman tampak sudah siap menempati ruang-ruang kebersamaan.

Pambuka

Puisi Umbu Landu Paranggi menjadi refleksi tema malam itu. Kerinduan untuk merasakan kehangatan cinta seakan semakin temaram, bersembunyi dalam angan.

Maraknya kriminalisasi guru dalam mendidik anak didik, di lain sisi juga ditemui kasus guru melakukan tindakan tidak sepantasnya terhadap anak yang harusnya dibina. Bukankah pendidikan harusnya membebaskan dari kegelapan menuju cahaya!? Jika iya, kasus kriminalisasi guru dan tindakan asusila guru-murid akhir-akhir iini masuk dalam spektrum cahaya yang mana? Radiasi, kah!?

Mengapa tampak ada perbedaan antara pendidikan dulu dan sekarang? Baik dari sisi pendidik maupun anak didik. Dulu anak didik begitu tawaduk dengan guru, sekarang tidak sedikit ditemui anak didik yang berani menantang duel guru sehingga viral di media sosial. Apa perbedaan ini bersifat permukaan, hanya karena arus informasi yang lebih cepat menyebar dari sebelumnya!? Atau adakah perbedaan yang lebih mendasar pada sistem pendidikan kita!?

Apa sebenarnya akar masalah pendidikan bangsa ini? Dan bagaimana kita seharusnya menyikapi? Mari kita diskusikan setiap keresahan dalam dunia pendidikan saat ini bersama Mas Sabrang, Mas Amin Tarjo, Dr. Jokhanan Kristiyono, S.T., M.Med.Ko. (Rektor Stikosa), Pak Yudhit Ciphardian (Stand-up Komedian dari Stand up Indo Surabaya), Ibu Agustin Ariani (Filolog), Dr. Eng. Zaenal Arief, S.T., M.T. (Direktur Poltek Nuklir Indonesia), Dr. Suko Widodo, M.Si. (Dosen Kompol Stikosa), Bagus Irawan, S.Sos., M.Sosio. (Dosen Sosiologi UTM), Probo Darono Yekti, S.Hub.Int., M.Hub.Int. (Dosen HI Unair).

Kurikulum Bercanda

“Selamat malam dan terima kasih atas undangan untuk menemani Majelis Ilmu BbW”, sapa Pak Yudhit.

Belakangan ini banyak konten-konten satir bertebaran di internet. Parodi adegan para murid yang berperilaku negatif, kemudian gurunya tampak tak acuh karena ada rasa serba salah. Mereka mau meluruskan tindakan muridnya yang salah, tetapi di satu sisi ada ketakutan pada guru jikalau muridnya tidak terima dan berujung pada pelaporan hukum.

“Di dekat rumah saya bahkan ada warkop memasang password Wi-Fi ‘gaji guru honorer-kecil semua’”, lanjut Pak Yudhit. Penonton pun tertawa.

Melihat fakta di lapangan, banyak berita gedung pendidikan yang rusak. Kalau gedung pendidikannya saja rusak, apa bisa mengharapkan hasil pendidikan yang tidak rusak. Penonton pun kembali tertawa dengan anekdot yang dilontarkan Pak Yudhit. Gedung tidak diurus, apalagi guru. Negara tidak punya perhatian serius terhadap kesejahteraan guru. Beban guru yang begitu berat, perumusan RPP yang njelimet, gaji kecil, kurikulum yang suka ngajak bercanda dan gonta-ganti seperti iklan TV, serta janji-janji peningkatan kesejahteraan guru yang hanya menjadi mimpi.

Tidak ada nalar dari hasil pendidikan selama ada berita polisi nembak polisi, oknum Kapolda terjerat bandar narkoba, pejabat MA korupsi numpuk uang miliaran hampir 1 triliun, guru yang berbuat asusila kepada anak didiknya, dll. Mereka adalah kumpulan orang yang belum selesai dengan dirinya dan itulah perwajahan hasil pendidikan bangsa ini. Sungguh memprihatinkan dan sangat dimungkinkan masalah pendidikan ini berkelindan dengan masalah lainnya.

“Saya curiga akar masalah pendidikan ini berawal dari lingkar keluarga”, jelas Pak Yudhit. Murid bertingkah di sekolah sebagai bentuk pelampiasan masalah dari rumah. Mereka kurang kasih sayang di rumah. Orang tua tidak banyak yang benar peduli dengan pendidikan si anak. Mereka merasa bisa membayar mahal sekolah/instansi luar untuk mendidik dan menyerahkan masa depan anak. “Padahal, bukankah pendidikan pertama setiap insan berawal dari lingkar keluarga”, tegas Pak Yudhit.

Praaksara
Sesi berikutnya adalah giliran Ibu Agustin Ariani. Beliau adalah seorang filolog, peneliti yang memilih bergelut dengan aksara kuno warisan intelektual kebudayaan. Pada malam itu beliau mempresentasikan materi yang berjudul “Kabar dari Masa Lalu”.

Pendidikan Bangsa Indonesia tentu tidak serta merta lahir. Terdapat sejarah panjang peradaban yang membentuknya. Dahulu kala, naskah dan kitab masa lalu seperti aksara Bali, aksara carakan/Jawa, serta aksara pegon digunakan sebagai media ajar dengan ditembangkan. Beberapa di antaranya ialah tembang Mocopat, Maskumambang, Mijil, Asmarandana, Kinanthi, Pucung, dan Megatruh. Kesemua tembang tersebut menceritakan kisah perjalanan hidup manusia, khususnya perjalanan bangsa ini.

Kita ambil contoh Kitab Kakawin Negarakertagama yang menjelaskan bahwa negara dan desa berhubungan erat seperti singa dan hutan. Bila desa rusak maka negara akan kekurangan bahan pangan. Serat Sri Sedana tentang Kedaulatan pangan. Kemudian Kitab Kakawin Sutasoma yang menjadi dasar Bhinneka Tunggal Ika harusnya menjadi pondasi kurikulum Bangsa Indonesia

Handarbeni, Hanggondheli, Hangrasa wani. Rumangsa melu handarbeni, artinya merasa ikut memiliki. Wajib melu hanggondheli, artinya wajib ikut mempertahankan. Mulat sarira hangrasa wani, artinya berani mawas diri dan menyadari kekurangan. Pepatah Jawa ini melahirkan sikap rendah hati yang dapat membantu manusia menata diri dengan baik. “Dan bukankah tujuan pendidikan kita harusnya membuat orang menjadi lebih baik”, tegas Ibu Ani.

Ad-break

Moderator sekali lagi mengambil alih jalannya acara. Memberi kesempatan narasumber untuk rehat sejenak sembari melemparkan pernyataan dan pertanyaan ke jamaah. Tepat pukul 11 malam, Pak Yudhit pamit undur diri. Moderator pun mempersilakan dan berterima kasih banyak atas kehadiran Pak Yudhit dalam Majelis Ilmu BangbangWetan edisi November.

Sambil menunggu Mas Sabrang dan narasumber lain. Moderator mempersilakan Band Bupala untuk tampil. Lagu Khotbah Sang Pengembara diperdendangkan. Jamaah tampak asyik menikmati setiap dentuman irama, ada yang sambil rokokan, ada yang sambil ngobrol dengan teman, dan ada pula yang sibuk mengibarkan bendera syekhermania.

Sesi ad-break selesai. Moderator mempersilakan Mas Sabrang, Mas Amin Tarjo, Pak Jokhanan, Pak Suko, Pak Zainal, Pak Bagus, dan Pak Probo untuk turut hadir berbincang dalam ruang rindu.

Kulminasi Pendidikan

Mas Amin Tarjo memberi apresiasi pada setiap narasumber yang hadir untuk membagi ilmunya. Beliau memberi pengantar tentang keresahan Tim Tema BbW mengenai maraknya kasus kriminalisasi guru yang membuat tercetusnya tema “Menakar Ruang Ajar”.

Guru dijuluki sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Benar, hingga saat ini pun masih banyak guru yang tidak mendapatkan imbal jasa yang layak. Banyaknya status dan level guru, mulai guru honorer, guru GTT (guru tidak tetap), dan guru PTT (pegawai tidak tetap). Begitulah sekarang cara kita menyebut tenaga pendidik yang tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil. “Sebuah bangsa yang hebat tentu tidak lepas dari peran guru. Tetapi di negara kita, guru malah dipolitisasi”, jelas Pak Suko.

Pak Bagus kemudian menambahkan mengenai tanggung jawab profesi dan idealisme guru. Guru yang bersandang julukan pahlawan tanpa tanda jasa ini juga bisa menimbulkan hambatan sosial, kultural, dan psikologis bagi guru. Misalnya, guru sering dianggap harus selalu bekerja tanpa pamrih, sehingga pendapatannya yang tak layak menjadi hal yang normal. Di sisi lain, pendidikan seolah-olah dibebankan hanya menjadi tanggung jawab institusi sekolah dan kampus yang membuat beban guru semakin berat.

Nasib guru saat ini memang masih tidak sedang baik-baik saja. Filosofi kata guru, digugu dan ditiru, sudah tidak berlaku di masa sekarang. Guru saat ini nelangsa, tekanan sistem sana-sini. Nyatanya, tiga menteri pendidikan tidak berbanding lurus dengan meningkatnya nasib guru. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan, dan peraturan-peraturan lainnya pun tidak mampu menjaga nasib guru. “Sungguh Ironi”, papar Pak Probo.

Masa Re-Orientasi Sekolah

Menurut Pak Zainal pada sesi berikutnya, perlu pembuatan batasan konsep terlebih dahulu mengenai perbedaan pengajaran dan pendidikan. Pengajaran menyampaikan suatu pengetahuan tertentu yang spesifik. Sedangkan pendidikan memiliki cakupan yang lebih luas.

Tujuan Pendidikan membentuk individu yang bermoral dan berkontribusi bagi masyarakat. Aspek knowledge, sikap, belajar berkontribusi harus menjadi perhatian di setiap lini. Permasalahan mendasar sekarang adalah ketercapaian tujuan pendidikan hanya diukur dari tingkat kelulusan siswa dan mahasiswa. Dan kita semua tahu bahwa hampir semua sekolah dan perguruan tinggi tidak menerapkan betul saringan kelulusan dengan tepat.

Ada pepatah mengatakan “belajar sampai negeri China”. Di China kita bertemu Konfusius yang berkata, “Pendidikan melahirkan kepercayaan diri, keyakinan melahirkan harapan, dan harapan melahirkan perdamaian”. Pemikirannya tentang pendidikan masih dianggap bermakna hingga saat ini, seperti mengajar siswa harus sesuai dengan bakatnya dan tidak boleh ada siswa yang tertinggal.

Di Indonesia tidak kalah hebatnya. Kita bertemu Ki Hajar Dewantara dengan konsep Tripusat Pendidikan, yang melibatkan tiga lingkungan utama dalam pendidikan anak-anak, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat yang bersinergi secara utuh. Aspek moral adalah tanggung jawab keluarga. Aspek struktural menjadi tanggung jawab sekolah, dan masyarakat adalah wadah untuk berkontribusi. Kontribusi sesuai peran yang diambil dan dipilih oleh masing-masing individu.

Pak Zainal meminta izin mengutip lagu Letto Sampai Nanti, Sampai Mati, “Kalau kau kejar mimpimu, salut. Kalau kau ingin berhenti, ingat ‘tuk mulai lagi”. Kemudian Pak Zainal juga menukil ujaran Guru Besar Maiyah, Mbah Nun, “Pengajaran berbeda dengan pendidikan. Pengajaran hanya transfer ilmu. Tapi pendidikan selain ada transfer ilmu, terkandung nilai kebaikan dan nilai kasih sayang dalam prosesnya”.

Sinergi Lingkar Pendidikan

Mas Sabrang mengajak kita untuk menggali akar permasalahan pendidikan. Tidak hanya di pendidikan, karena bisa menyangkut banyak hal. Kalau di perusahaan ada value yang perlu dijaga dan di-layout, kemudian dibuat turunan value. Pendidikan juga memiliki akar value yaitu kurikulum yang perlu dijaga dan dibuat turunannya.

Pertanyaannya:

Pertama, pentingkah pendidikan!? Apa yang perlu dididikkan?

  • Ada satu hal yang perlu kita garis bawahi bahwa mengajari orang itu tidak bisa. Loh kenapa!? Yang bisa hanyalah memberi kesempatan orang untuk belajar. Dipahami, ya,
  • Artinya kita tidak bisa memaksa manusia untuk belajar. Perlu adanya kemauan dan partisipasi manusia tersebut untuk belajar.

Kedua, siapa yang dididik? Manusia. Bisa dibatasi kapan belajar atau tidak!? Belajar kapan saja dan di mana saja. Manusia atau anak didik selalu belajar setiap saat dari berbagai macam lingkungan. Artinya tidak bisa dibatasi.

Ketiga, apa tujuan pendidikan? agar memperoleh generasi penerus yang lebih baik.

Kemudian faktor yang mempengaruhi pendidikan ada orang tua, lingkungan, dan gadget yang kesemuanya bersinergi dalam satu harmoni. Perlu diperjelas dan semakin ditingkatkan kesadaran bersama mengenai batasan setiap lingkar pendidikan.

  • Lingkar keluarga: berkewajiban mengajari anaknya cara berperilaku, tata krama menjadi manusia, sopan, Tujuannya agar anak bisa berperilaku selayaknya manusia.
  • Lingkar sekolah: belajar ilmu generasi sebelumnya yang sudah dikodifikasi (sesuai kebutuhan dan dinamika sosial). Memiliki fungsi ilmu spesifik, contoh ilmu matematika untuk memecahkan masalah hitungan tertentu. Juga tentu diperlukan metodologi mendidik yang tepat, contoh Mas Sabrang dulu pernah bercerita tentang sejarah matematika agar membuat si komunikan tau konteks berjalannya ilmu matematika dan pada akhirnya bisa engage/relate dengan bahasan matematika.
  • Lingkar publik: belajar ilmu yang belum/tidak dikodifikasi, seperti Ilmu tepo sliro.

Dari faktor-faktor itu tadi, bila ada kasus anak berperilaku buruk, berarti kesalahan ada pada lingkar keluarga karena tidak mampu menjalankan fungsi mengajari anaknya cara berperilaku.

Ada sebuah kisah Pandawa yang bertanya kepada Kresna tentang kondisi saat akan datang Kaliyuga. Kresna menjelaskan dengan menyuruh Pandawa mengikuti busur panah yang dilentingkanya. Saat mengambil anak panah, terlihatlah seekor sapi sedang melahirkan anaknya. Setelah melahirkan, maka induk sapi itu mulai menjilati anak sapinya terus menerus walapun anak sapi sudah bersih dan membuat anak sapi itu terluka parah oleh jilatannya. Begitulah Zaman Kaliyuga, para orang tua akan mencintai anak-anak mereka begitu besar sehingga cinta mereka itu akan menghancurkan kehidupan anak-anaknya seperti halnya cinta dari induk sapi kepada anaknya yang baru lahir.

Dari kisah Kaliyuga bisa kita tarik ke kondisi sekarang, kisah orang tua yang begitu sayang kepada anaknya dengan memudahkan dan memberi apapun yang anak minta, bahkan sampai membela mati-matian anaknya dengan melaporkan gurunya ke jalur hukum pada kasus yang tidak jelas duduk perkaranya. Justru orang tua seperti itu yang sejatinya telah membunuh anaknya. Anak tidak disiapkan menghadapi kesulitan dan menghadapi dunia sebenarnya. Anak yang telat menghadapai dunia, tidak akan mampu bangun sendiri dalam dinamika kehidupan. “Bapak saya begitu tega dan saya bersyukur atas hal itu. ‘Tough Love, cinta yang tegar’”, tegas Mas Sabrang.

Sistem Pendidikan kita tidak terbiasa dengan konsep first principal, pembagian porsi, dan disintegrasi. Disintegrasi logika contohnya fase Pendidikan SD sudah diajari koding yang jelas belum saatnya. Oke, dunia mungkin tidak ideal, yang bisa diubah kita ubah, yang tidak bisa perlu dihadapi dengan jantan.

Sekarang PR-nya adalah peran yang kalian ambil. Peran anda sebagai orang tua penting untuk menyiapkan manusia yang utuh lewat lingkar keluarga. Dinamika di lingkar keluarga sangat mempengaruhi lingkar lainnya karena berfungsi sebagai pondasi. Yok, kita bangun bareng-bareng pondasi ini! Penutup Mas Sabrang disambut tepuk tangan meriah dari setiap hadirin.

Moderator menyampaikan matur nuwun banyak atas kehadiran Mas Sabrang dan setiap narasumber yang sudah ngancani Sinau Bareng.

Suasana saat berlangsungnya maiyahan BangbangWetan

 

Rubrik Tanya Jawab

  • Mas Acang, jamaah Surabaya, menyampaikan pada zaman Kitab Sutasoma, masyarakat memberi penghargaan kepada ilmu dengan sangat pantas, membuat guru bisa fokus mengabdi menimba dam berbagi ilmu. Sedangkan fakta sekarang berbeda. Bagaimana cara menyikapinya?

Jawab: Sinergi lingkar menjadi solusi, pentingnya kesadaran kolektif untuk bahu-membahu mengoptimalkan peran dalam setiap lingkar masing-masing.

  • Mas Hilmi, jamaah Surabaya, menyayangkan saat ini persepsi orang tua kepada guru negatif sekali. Persepsi guru ke siswa juga tidak Alhamdulillah, Mas Sabrang memberi pencerahan melalui konsep sinergi dan lingkar. Namun, saya agak khawatir dari konsep singularitas, kodifikasi dari pengajaran dan mempersiapkan masa depan

Jawab: Bila yang dimaksud singularitas teknologi dan kekhawatiran saat teknologi menjadi satu hingga melampaui manusia. Kembali ke tiga lini masa: masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Kita hanya bisa belajar dari masa lalu, memberi mimpi untuk masa depan, dan hidup di masa sekarang.

  • Mbak Zakiyah, jamaah Malang, menukil pidato Soekarno bahwa kondisi pendidikan kita telah diasingkan dari identitas sejarah bangsa kita sendiri. Generasi sekarang malas mempelajari sejarah. Apa yang bisa kita lakukan?

Jawab: Sejarah digunakan sebagai alat dalam banyak hal. Jerman memakai sejarah untuk mengancam. Indonesia untuk glorifikasi. Sejarah memang penting dan bisa jadi sejarah ditulis oleh pemenang. Dan yang lebih penting lagi, negara kita butuh inisiatif komunal yang menjadi PR bersama. Belum ada satu pun pemerintahan di dunia yang bisa sempurna dalam laku integrasi. Mengubah keresahan bersama, memadatkannya, dan menjadi laku perubahan. Yang bisa kita lakukan adalah memberi perubahan sesuai potensi dan opportunity kita masing-masing.

  • Mas Agus, jamaah Bangkalan, mempertanyakan lembaga pendidikan ideal itu seperti apa. Ada lembaga nonformal seperti pesantren/MI, Ada juga lembaga formal sekolah negeri. Guru hari ini profesi atau pekerjaan. Sepengetahuan saya, profesi perlu hal keahlian khusus, ada sumpah profesi. Kemudian mengubah pelan-pelan tapi terbawa arus dan muak dengan keadaan harus dihadapi jantan seperti apa?

Jawab: Konsep pendidikan yang kita anut sekarang seperti menciptakan pekerja, diambil dari Bavaria, Jerman, yang membutuhkan banyak tentara, kemudian tercipta pendidikan tentara dan di-setting sedemikian rupa agar tentara dibuat pandai tetapi tidak cukup pandai untuk melawan komandan.

Pendidikan sekarang sepraktis itu. Piramida akademisi dibuat mandul oleh hukum kekuasaan, misalnya rektor dipolitisasi. Piramida society, piramida agama, piramida ekonomi, dan piramida lain punya tujuan masing-masing. Masalah Indonesia adalah semua piramida itu kalah dengan piramida uang. Semua piramida dikooptasi oleh piramida tertentu.

Untuk merumuskan sistem pendidikan ideal, kita harus rumuskan dulu value kurikulum, baru dibuat turunan value. Tentang idealisme dan pragmatisme guru bukan hal yang bisa dipertentangkan karena keduanya sama-sama kebutuhan.

  • Kak Icha, jamaah Surabaya, menyinggung posisi Mas Sabrang sebagai pemimpin. Kita belajar bermacam macam mulai AI, demokrasi, transparansi. Mbah Nun pernah bilang bahwa pemimpin perlu dua sifat, yaitu ditakuti banyak orang dan sifat malati (bila khianat dia kualat). Apakah ciri-ciri malati sebagai berikut: tidak pernah terjun politik, selalu menemani rakyat kecil di desa-desa, atau vokalis band?

Jawab: Ciri malati ini ada yang tidak saya setujui, bukan secara gagasan/ide, tetapi secara pragmatisme sulit implementasinya.

  • Bambang, jamaah Surabaya, mengatakan bahwa dari tadi berfokus pada pendidikan. Tidak semua background pendidikan bagus, tetapi pasti perlu menjadi pendidik. Pemantik dalam kondisi rumah.

Jawab: Ada anak yang tidak dianugerahi orang tua bagus. Setiap individu bisa lepas dari sejarahnya, sulit memang tapi hati dan akal menjadi kunci. Kanjeng Nabi juga tidak ditemani orang tua dari kecil, tetapi terbentuk proses reflektif perbaikan diri dalam diri Nabi.

Epilog

Selamat Hari Guru untuk Mbah Nun, Guru Besar kita semua. “Semua ilmumu datang dari keingintahuanmu”, kata Mas Sabrang. “Dan perlakukan dirimu seperti kamu memperlakukan orang yang kamu cintai”, ujar Mas Sabrang mengutip kalimat Mbah Nun. Pendidikan bukan hanya tentang sekolah, ulangan, nilai IPK, dan atribut tambahan yang sering disematkan kepadanya. Pendidikan adalah proses spiritual setiap hamba untuk mengumpulkan ilmu Sang Maha Mengetahui. Oleh karena itu, diperlukan nilai kebajikan, kejujuran, kasih sayang dalam setiap prosesnya.

Mungkin Majelis Ilmu BangbangWetan masih jauh dari kata sempurna. Kadang kekhawatiran muncul, apakah kami sudah cukup optimal dalam penyelenggaraan forum majelis ini!? Rundown yang seringkali molor, keterbatasan fasilitas, topik yang kadang melebar, dan bentuk ketidakpuasan lainnya. Namun, semua kekhawatiran itu seketika sirna setiap melihat senyum dan tawa jamaah. Melihat mereka begitu khusyuk menikmati setiap jalannya acara, seolah membayar setiap rasa lelah kami, teman penggiat.
Terima kasih untuk setiap dukungan moral maupun materiil dari penggiat, komunitas, civitas akademika, dan setiap elemen yang membantu. Semoga Mbah Nun, Mas Sabrang, dan keluarga besar Maiyah bisa selalu istiqomah hadir dalam setiap ruang rindu.

Oleh : Redaksi BangbangWetan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *