Oleh : Eren Sugiharto
Apa yang tersisa dari Maiyah BangbangWetan (BBW) tanpa kehadiran Mbah Nun secara fisik? Memang, rutinan masih jalan, panggung pun digelar, Ayat Al-Qur’an dilantunkan, jama’ah datang, jangan tanya berapa hitungannya. Diskusi yang terjadi berintensitas tinggi, prasmanan ilmu mahal yang bisa dikulak gratisan. Normal. Tapi ada yang kurang kan?
Jika memang kumpulan manusia-manusia ini sedang mencari kebenaran sejati, mengapa kehadiran fisik seorang tertentu menjadi krusial? Jangan-jangan selama ini cuma terjebak dengan kultus personal. Apakah Mbah Nun menginginkan hal itu? Tidak!
Tak bisa dipungkiri, segala tentang Mbah Nun memang mudah untuk dicintai. Tentang suaranya yang teduh atau esai yang peka jaman. Banyak hal tentang beliau yang menjadikan kewajaran apabila sampai menjadi sumber inspirasi ataupun sumber kesadaran spiritual.
Tapi, dari kesadaran spiritual untuk bertransformasi menjadi kemandirian spiritual punya interval panjang, butuh guide. Seperti instalasi software yang perlu ahli IT. Lantas, apa semua ‘manual book‘ dan tutorial dari beliau masih belum cukup? Jadi, mau cari apa? Kutipan indah, atau sekedar dokumentasi untuk portofolio sosmed? Dangkal. Apa sebenarnya masih mau nyaman terus digendong beliau?
Lazimnya orang tua, mereka pasti ingin melihat anak cucu bertumbuh, berlari, mandiri. Lalu bagaimana sisi sebaliknya? Hampir selalu ingin ditemani. Dengan atau tanpa kehadiran Mbah Nun, BbW harus terus bertumbuh. Dan ingat, ini bukan yang pertama, pernah merasakan disapih tanpa tau kalau sedang disapih, sampai mendarat kabar kalo sedang disapih. Ya rindu. Memang berat, apakah hal ini membuat kita kehilangan esensi bermaiyah?
Terlalu banyak pertanyaan. Entah karena bodoh atau memang berhulu rindu, membahasnya bikin sendu. Dia seperti candu dibungkus ekspektasi bertemu. Semacam hasrat untuk kembali mendengar suara yang berwibawa itu. “Mbah, apa jenengan tak ingin, kembali melihat mata anak cucumu yang berbinar-binar, berkaca-kaca saat jenengan naik keatas panggung? Kami yang dulu ‘mbembet’, pengangguran, jomblo, sekarang sudah Alhamdulillah. Bukan kah kabar baik tentang kami bisa buat jenengan seneng? Kami menanti barangkali jenengan sudah merasa cukup bertapa”.
Rindu ini bukan hasil dari interaksi intensif, apalagi privat. Kami sekumpulan anak cucumu yang hanya berani melihat dari jarak aman. Kenyataannya, penggiat BbW ini juga masih disuruh minggir jika Mbah Nun hendak hadir. Tak terbayang betapa tersiksanya rindu orang-orang dengan privillege bisa tatap muka secara privat bersama beliau.
Please, dicukupkan meratapnya, rutinan BbW harus terus berjalan. Sempoyongan dikit gak ngaruh. Endapan dari embrio pergerakan BbW tak layak tenggelam. Mau ditaruh dimana muka ini, jika saat nanti Mbah Nun kembali dan melihat benih yang beliau tanam ternyata ‘gabug’. Malu. Dalam beberapa kesempatan, beliau pernah mengingatkan dengan QS Al-Insyirah : 6 “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”. Ya, kemudahan dalam bentuk peluang, untuk sekali lagi mendalami nilai-nilai Maiyah secara mandiri. Jelas, kesulitannya dengan perasaan compang-camping dikoyak rindu.
Teruslah menggali esensi keberadaan Bbw. Rutinannya gak boleh hanya sekedar “ritual kumpul” sepi makna. Pada usia yang sudah masuk baligh, harusnya menjadi lebih matang. Bergerak dari nyamannya digendong menuju kedewasaan kolektif yang substansial, serta urusan teknis lebih mapan. Tak sekedar forum populer penghasil quote, sebatas talkshow. Rindu memang bikin slow, tapi langkah gak boleh kendo. Ngalem! Lihat simpul lain yang belum pernah disambangi Mbah Nun! Mereka tetap bahagia. Nostalgia sesekali saja, tanpa tenggelam didalamnya, hingga kehilangan daya dobrak ditengah gelombang jaman.
Eren Sugiharto, Sinis, Skeptis, Tidak Quotable, bisa disapa melalui vodkid99@gmail.com