Keluarga Sabar

Bagikan

            Dini hari tadi, Sodon akhirnya meninggal. Setelah beberapa kali dibawa ke Puskesmas dan dua kali masuk UGD Rumah Sakit Umum, Sodon harus menyerah. Mengaku kalah pada penyakit yang menggerogoti masa mudanya. Dia menghembuskan nafasnya yang terakhir di atas tikar mendhong di tengah-tengah rumahnya yang kecil. Harkekog, kakak perempuannya yang menyaksikan adiknya pergi, seorang diri. Hanya Harkekog yang menunggui.

            Saat Sodon pergi, dia cuma menitikkan airmata. Tidak ada jerit histeris. Tidak ada tangis meraung. Belum genap seratus hari lalu, airmatanya dikuras oleh kematian  Sabar, bapaknya. Kini, dia kembali ditinggal pergi oleh Sodon, satu-satunya saudaranya. Tinggalah dia dan Jainem, Simboknya.

            Sejak awal, keluarga Sabar menjalani garis hidup yang tragis. Sabar adalah laki-laki antah berantah yang kemudian menikahi Jainem, gadis Tjigrok yang agak kurang waras. Mereka bertemu di pasar sepur Madiun saat Jainem berjualan kembang sekaran, seperti juga perempuan-perempuan Tjigrok yang lain. Waktu itu, Kamis Kliwon malam Jumat Legi, hari yang baik bagi pedagang kembang sekaran. Pada hari itu, jumlah pembeli akan mencapai puncaknya. Banyak orang pergi nyekar ke makam.

Saat itu, Sabar menarik becak dan Jainem penumpangnya. Entah perasaan apa yang bergejolak diantara keduanya. Pada kerlingan pertama mata  Sabar, rupanya Jainem langsung menyambutnya. Maka, terjadilah apa yang harus terjadi. Sabar, laki-laki antah berantah itu resmi menjadi suami Jainem. Mereka pun tinggal di Tjigrok, kampung halaman Jainem. Sejak saat itu, Sabar melanjutkan kerja menarik becak di Madiun. Sementara Jainem tinggal di rumah. Dua hari sekali Sabar pulang ke rumah.

            Beberapa waktu kemudian, anak pertama mereka  lahir. Perempuan. Diberi nama Harwati. Harwati bayi yang mungil, lucu namun nampaknya kurang begitu sehat. Maklum, apa yang bisa dilakukan oleh Jainem untuk mempersiapkan kelahiran janinnya. Untuk mengurus diri sendiri saja, Jainem tidak sepenuhnya mampu.

Benar saja, belum genap berumur satu tahun, orang mulai melihat kelainan pada diri Harwati. Kakinya besar sebelah. Orang-orang mulai  bergunjing bahwa itu adalah akibat dari dosa-dosa yang diperbuat  oleh Sabar.  Kabar pun beredar diantara para pedagang kembang sekaran. ”Sabar gemar main perempuan. Sabar sering terlihat sedang adu ayam. Sabar sehari-hari hanya main gaple belaka.” Begitulah vonis yang jatuh pada Sabar.

Orang-orang Tjigrok tidak tahu kalau Harwati sebenarnya terserang polio, penyakit yang mewabah di awal era 80-an. Apalagi, Sabar dan Jainem, mereka lebih tidak paham lagi. Bahkan, mereka berdua rupanya setengah percaya bahwa kaki Harwati cacat akibat kutukan atau kuwalat karena perilaku Sabar. Kelak ketika sudah bisa berjalan, Harwati harus mengandalkan  sebagian besar tumpuan tubuhnya pada kaki kiri yang jauh lebih besar ukurannya dibanding kaki kanan. Maka, mulailah dia dipanggil Harkekog.

            Sabar kecewa.  Memiliki anak perempuan yang cacat seolah menjadi hukuman seumur hidup baginya dari masyarakat. Maka, dia mendamba-dambakan anak yang lahir sehat. Laki-laki  atau perempuan sama saja. Maka, tiga tahun kemudian, lahirlah anak  keduanya: laki-laki. Anak itu diberi nama Sodon. Entah apa artinya. Sabar hanya meyakini bahwa anak yang lahir harus diberi nama. Sebagaimana anak-anak lain pada umumnya.

Di hari lahirnya, Sodon juga mungil, lucu meskipun seperti saat Harwati lahir, bayi itu juga nampak kurang sehat. Sabar menunggu dengan cemas hari-hari yang berlalu. Dia berharap, Sodon akan tumbuh menjadi anak yang sehat dan sempurna. Tidak seperti Harwati yang cacat. Sehingga, Sodon bisa diandalkan untuk melanjutkan keturunannya. Juga bisa diandalkan menjadi penopang hidupnya kelak saat dia sudah tidak mampu lagi bekerja.

Sementara, Jainem tidak peduli dengan itu semua. Bahkan, dia tidak peduli dengan dirinya  sendiri. Jainem baru  dianggap ada ketika ditengah malam pekat, dia berteriak-teriak mengutuki  Sabar, suaminya. Entahlah bagaimana awal terjadinya. Para tetangga pun tak pernah mengingat dan mempedulikannya. Mereka cukup memvonis bahwa Jainem gila dan semua pertanyaan pun selesai.

Sementara, ketika Jainem berteriak-teriak mengutukinya, Sabar juga tak ambil peduli. Sebab, dia menempelkan radio transistor ke telinganya. Bukan itu saja, Sabar bahkan memutarnya keras-keras hingga para tetangga ikut mendengar siaran wayang kulit semalam suntuk dari dalang Ki Anom Suroto.

Dan benar saja. Harapan Sabar terkabulkan. Setelah cukup besar, Sabar melihat tidak ada yang kurang pada tubuh Sodon. Utuh. Sehat. Sempurna. Kulitnya coklat dan rambutnya yang kemerahan lurus kaku. Sodon adalah anak yang  sempurna. Sabar girang. Ini pembalasan setimpal untuk orang-orang Tjigrok, begitu pikirnya.

Hari terus merambat. Musim berganti. Harkekog dan Sodon beranjak besar. Mereka memasuki usia sekolah. Harkekog nampaknya memiliki otak  yang lebih encer dibandingkan dengan Sodon. Saat kelas 2 SD, Harkekog sudah bisa membaca dengan baik. Biasanya selepas isya’, dia akan membaca  buku Bahasa Indonesia yang gambar-gambarnya dibuat oleh Siti Rahmani Rauf, terbitan Balai Pustaka, keras-keras. Cara membacanya memiliki lagu tertentu yang diseret dan nada menanjak dibagian akhir kalimat. Jadilah Harkekog terkenal diantara para tetangga. Harkekog sudah pintar membaca. Sementara Sodon, anak laki-laki yang digadang-gadang oleh Sabar, tenggelam dalam kebesaran Harkekog.

Dua tahun kemudian, Harkekog sudah bisa membaca Al Quran. Setiap hari selepas sholat maghrib di langgar hingga menjelang isya’, Harkekog membaca Al Qur’an. Kadang, dia mendaras di langgar Mbah Kimpling di seberang rumahnya.  Kadangkala, dia membaca  di rumahnya. Sama seperti saat membaca buku pelajaran Bahasa Indonesia Ibu Rahmani, Harkekog membacanya keras-keras. Sementara Sodon entah kemana. Dia seolah lenyap  tak masuk perhitungan kendati dia sebenarnya juga tidak kemana-mana.

Saat lulus dari SMP, Sodon beberapa tahun menganggur di rumah. Kerjanya  hanya duduk-duduk saja. Dia tidak nampak terlibat dengan komplotan anak-anak muda Tjigrok yang gemar membuat onar, menyerang kampung lain, mabuk-mabukan atau main perempuan. Sodon tidak memiliki modal untuk terlibat di dalam komplotan itu. Dia juga tidak nampak pergi ke Musholla yang berdiri tepat di depan rumahnya.

Akhirnya, seorang tetangga mengajaknya  merantau  ke Kalimantan. Menurut kabar, dia masuk hutan untuk ikut bekerja sebagai penebang kayu. Beberapa tahun merantau, Sodon sudah bisa mengirim uang kepada Sabar dalam jumlah yang cukup besar. Dia berpesan agar uang itu dipergunakan untuk memperbaiki rumah.

Betapa bangganya Sabar waktu itu. Anak laki-laki yang dijagokannya sudah mampu mengirimkan uang untuk memperbaiki rumah. Anak yang sudah berhasil bekerja dan sanggup membenahi rumah orang tuanya adalah kebanggaan tersendiri bagi orang desa. Rumah Sabar seluas 36 meter persegi yang awalnya berlantai tanah, berdinding bata ekspose serta jendela yang ditutup tripleks kini berganti dengan lantai keramik, jendela kaca dan atap teras rumah yang dicor beton. Kendati sederhana, namun rumah Sabar nampak lebih bersih dan layak.

Belum sempat Sodon pulang untuk melihat buah kerja kerasnya, seorang tetangga yang bekerja bersama Sodon mengabarkan bahwa Sodon terserang malaria. Atas saran tetangganya, dia pun memutuskan tak akan kembali lagi masuk ke hutan. Lantas  dia bekerja sebagai buruh bangunan di Kalimantan, mengikuti seorang tetangga  lain yang menjadi pemborong.

Sementara itu, Harkekog tinggal di rumah bersama kedua orang tuanya. Pernah dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Madiun, namun tak kerasan. Akhirnya dia memilih tetap tinggal di rumah saja. Menunggu laki-laki datang melamarnya. Namun bertahun-tahun, saat teman-teman seusianya sudah melahirkan 2 atau 3 orang anak, tidak juga ada laki-laki yang datang melamarnya. Untungnya, Harkekog  tak nampak jatuh putus asa. Dia tetap saja seperti Harkekog lebih dari dua puluh lima tahun lalu: mengaji selepas maghrib hingga isya’ dengan suara yang keras.

Namun seperti kata pepatah, untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Suatu sore di musim hujan, Sodon diantar pulang oleh tetangga yang dulu mengajaknya merantau dalam keadaan sakit. Sodon dipapah turun dari mobil carteran  oleh Sutik, tetangga yang menjadi bosnya di Kalimantan.

Menurut kabar yang tersiar, sakitnya Sodon tidak normal. Namun, bisik-bisik yang beredar di bawah tanah, Sodon diserang komplikasi karena selama bekerja di Kalimantan, dia mengkonsumsi obat-obatan berbahaya. Badannya kurus, kulitnya hitam bersisik dan ada bintil-bintil luka di sekujur tubuhnya. Rambutnya kusam dan gigi-giginya yang menghitam sebagian telah tanggal.

Setelah sore yang gerimis itu, setiap hari, Sodon hanya bisa duduk-duduk di beranda rumahnya yang tanpa halaman. Tidak nampak  lagi keperkasaannya sebagai kuli penebang atau buruh bangunan. Dia telah begitu lemah dan pucat. Beberapa kali dia keluar masuk Puskesmas. Pernah juga berobat ke Rumah Sakit, namun kesehatannya tidak juga membaik. Sodon telah digerogoti penyakit yang tak mungkin dipulihkan. Maka, bertambahlah beban  Sabar. Hingga tubuhnya yang sudah menua harus bekerja lebih keras lagi. Padahal, kekuatannya sudah jauh menurun. 20 tahun lalu, Sabar sebagai kuli angkut sanggup menurunkan 5 ton bekatul dari atas truck ke gudang seorang diri. Sekarang, dia hanya mampu memijat. Sekarung pun dia tidak sanggup lagi  mengangkat.

Suatu pagi Sabar jatuh pingsan. Para tetangga mulai kasak-kusuk. Mengapa Sabar yang tidak pernah sakit mendadak jatuh pingsan? Tidak ada yang menyebarkan kabar miring. Sudah bertahun-tahun Sabar tidak pernah terlibat dalam perjudian, apalagi  main perempuan. Beberapa waktu belakangan, dia bahkan tidak pernah terlihat sedang merokok.

Satu minggu Sabar  terbaring di tikar mendhong di tengah rumahnya yang kecil. Dan sejak pagi itu,  dia tidak pernah sadarkan diri hingga diusung ke pemakaman  Tjigrok. Sabar telah pergi. Meninggalkan Jainem, Harkekog dan Sodon tanpa sumber nafkah. Semua beras dan sumbangan kematian digunakan untuk dzikir fida’. Sebuah tradisi mendoakan orang yang telah meninggal. Dzikir fida’ oleh orang-orang Tjigrok dianggap sebagai level paling tinggi dari upaya mendoakan si mati.

Hanya itulah yang bisa diusahakan oleh keluarga Sabar untuk mengawal kepergian Sabar ke alam baka. Mereka berharap, doa-doa yang tak seberapa itu bisa mengantarkan Sabar ke tempat terbaik di alam sana. Sekarang, tinggallah Harkekog sebagai tulang punggung keluarga. Gadis pincang yang harus menghidupi Simbok dan adik laki-lakinya. Harkekog pun menerima pekerjaan apa saja dari para tetangga untuk membuat dapur tetap mengepul. Mencuci baju, menyetrika, memasak atau membayarkan tagihan listrik. Semua pekerjaan dilakukan Harkekog, karena memang tidak ada pilihan lain.

Malangnya, belum genap seratus hari sepeninggal Sabar. Sodon tak mau makan. Tak mau minum. Tubuhnya menolak  asupan apa pun. Selama satu minggu, Sodon hanya berbaring di atas tikar mendhong ditengah rumahnya, tempat seratus hari sebelumnya Bapaknya terbaring. Setetes air pun tak sanggup dia telan. Hingga dini hari itu, dengan hanya ditemani Harkekog, kakaknya yang pincang, Sodon meninggal di tempat Sabar menghembuskan nafas terakhir.

Usai pemakaman adiknya, Harkekog benar-benar harus mengambil alih tanggungjawab sebagai kepala keluarga. Dia yang bertanggungjawab mencari uang untuk menghidupi Simboknya sambil tetap berharap, suatu ketika, seorang laki-laki akan datang melamarnya.*

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *