Alarm berbunyi, seruan nyaring dalam simfoni mengiringi geliat mata hari di ufuk timur. Namun, sosok di balik selimut itu menggunakan protes yang teredam, mencoba kembali terseret ke dalam surga tidur yang hangat. Adegan ini, nampaknya pernah kita alami dan menjadi representasi khas yang terjadi dari generasi ke generasi. Inilah satu gambaran kecil dari mereka yang selalu bangun di saat sang surya kembali menunjukkan diri sambil menawarkan berbagai peluang yang tak terhitung jumlahnya. Namun, dalam balutan atmosfer global, muncul pertanyaan: Apakah kita mengorbankan potensi aktualisasi kita dengan menekan tombol tunda pada alarm kebangkitan diri?
Dari budaya tradisional, kita sering mendengar ungkapan orang tua yang mengatakan, “Kalau bangunmu kesiangan, jangan kaget bila ayam lebih dulu mematuk dan merenggut rejekimu”. Dalam budaya Eropa dikenal istilah “early bird” yang menunjukkan bahwa burung yang bangun lebih pagi akan mendapatkan lebih banyak makanan sepanjang hari. Namun, bagi generasi yang bergulat dengan kelelahan, kerentanan, jadwal kegiatan yang membuatnya lebih aktif di malam hingga dini serta definisi kesuksesan yang terus berkembang, kerangka kerja yang kaku ini terasa semakin ketinggalan zaman.
Dunia yang kita tinggali adalah pusaran 24 jam sehari dan/atau 7 hari seminggu sebagai siklus alamiah rangkaian pasti dari kehidupan kosmik. Dari rerangka waktu itu, secara fisiologis, tubuh kita menyesuaikan dengan mekanisme yang disebut sebagai bioritmik. Tidur, yang dulunya merupakan kebutuhan biologis, telah menjadi sebuah kemewahan di tengah tekanan yang tiada henti untuk terus-menerus “aktif”. Mengejar matriks produktivitas, menyusun persona online, dan berupaya mencapai keseimbangan antara kerja dan kehidupan, sambil berjuang melawan kecemasan akan ketertinggalan karena perasaan yang tiada pernah cukup menjadikan tidur sore hari adalah kesia-siaan.
Pertanyaannya kemudian apakah gerak kehidupan seirama dengan garis ketetapan khalayak masih layak untuk diperatahankan!? Atau pada sudut pandang sebaliknya, apakah mereka dengan agenda keseharian yang tidak sejalan seperti apa yang dipatuhi banyak orang secara otomatis dapat diartikan satu penyimpangan!? Penyimpangan yang berakibat pada olok-olok, predikat aib hingga tertutupnya katup peluang.
Mungkin generasi yang bangun terlambat, mereka yang karipan, bukanlah generasi yang menyerah pada sikap apatis, dan memilih takluk pada serbuan kemalasan untuk segera bangun dari tidur malam. Mereka adalah generasi yang mendefinisikan ulang kesuksesan dengan terminologi yang mereka ciptakan sendiri. Hal ini bukan berarti mereka sepakat dan mendukung sikap memanjakan yang tidak terkendali atau penolakan terhadap semua tanggung jawab, peran, dan tugas yang didelegasikan. Sebaliknya, hal ini merupakan seruan untuk melakukan pendekatan aktualisasi yang lebih holistik, yang mengakui kompleksitas dunia modern dan beragam jalur menuju pemenuhannya. Ini tentang menyadari bahwa meskipun matahari mungkin terbit lebih awal, jam internal kita mungkin berdetak dengan ritme yang berbeda.
Generasi yang bangun terlambat bukanlah hilang, melainkan liminal. Kita berada di ambang era baru, dimana definisi kesuksesan tidak lagi ditentukan oleh tirani pemahaman waktu tradisional. Pada sisi yang lain, mungkin perlu kita telusuri lebih jauh mengenai jati diri orang perorang. Merujuk pada pembagian jenis manusia menurut Mbah Nun yang terbagi atas manusia wajib, sunnah, mubah, makruh, hingga haram, mereka yang bangun kesiangan bukan lagi sesosok alien yang terasa asing dan sia-sia belaka. Ia bisa saja adalah seorang yang justru dinanti kehadiran, tindakan, serta eksistensinya. Tanpa perlu kita permasalahkan bila ia tiba.
Di ruang terbatas ini, di tengah-tengah menguap dan meminum secangkir kopi, sebuah aktualisasi jenis baru mulai menyebarkan benihnya. Ini adalah sebuah aktualisasi yang didorong oleh belas kasih pada diri sendiri, oleh kesediaan untuk mendengarkan ritme internal kita sendiri, dan oleh pemahaman yang mendalam bahwa jalan menuju optimalisasi potensi tidak selalu berupa garis lurus, namun sebuah perjalanan yang berkelok-kelok dan kadang diwarnai dengan perubahan siklus hidup yang tidak sekadar “tidur lebih awal, bangun lebih awal”.
Di saat kita menulis ulang narasi kesuksesan, jangan lupakan kekuatan tindakan kolektif. Dunia yang memprioritaskan kesejahteraan dibandingkan kesibukan yang menghargai istirahat dan peremajaan serta produktivitas, bukan hanya impian bagi generasi yang kurang tidur, namun merupakan masa depan yang dapat kita upayakan. Dengan mengadvokasi jadwal kerja yang fleksibel, meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental, dan menentang pengagungan kelelahan, kita dapat menciptakan dunia di mana setiap orang, bebas memilih jam efektifnya masing-masing serta kesempatan untuk bangun dengan potensi penuh mereka.
Pada H-18 sebuah giat nasional yang judulnya terus mengundang tanya, “pesta demokrasi”, mari kita bicarakan keberadaan “Generasi Karipan”. Generasi bisa saja mewakili masing-masing dari kita orang perorang atau sebagai koloni, Atau mungkin saja generasi di sini adalah gelegak daya hidup genre terkini yang kian banyak follower serta para stalker-nya. Di temaram bulan yang terhalang awan pada edisi kesekian BangbangWetan sebagai “satu forum, seribu podium” kecintaan kita bersama, kita elaborasi dan eksplorasikan semua pada frekwensi kegembiraan dan paseduluran yang terus terjaga.
Oleh: Tim Tema BangbangWetan