Rencanaku Bagian dari Skenario-Nya

Bagikan

Oleh: Dea Rachmadany

Duduk di antara para wanita yang berantusias mengikuti pengajian Subuh di Masjid Agung, kompleks makam Sunan Ampel, Surabaya. Berbalut masker kain yang menutupi mulut dan hidung, demi menjaga kesehatan satu sama lain.

Banyak orang mengenakan baju gamis yang lazimnya dikenakan orang ketika hendak ke masjid. Namun, saya tidak. Karena saya hendak lari pagi setelah mengikuti pengajian, maka saya mengenakan satu setelan baju biru panjang, celana olahraga dongker, dan berhijab coklat untuk membungkus lekuk tubuhku. Serta jaket army melindungi karena masih dingin waktu itu.

Antusias, ku tapakkan kakiku. Para manusia yang keluar-masuk dari gerbang belakang masjid memasang ekspresi aneh. Mungkin karena setelan bajuku yang tak lazim dikenakan di tempat ini. Sungguh senang sekali melihat ekspresi orang seperti itu.

Masuklah saya ke dalam masjid tua itu. Bersalaman dengan ibu-ibu yang telah ada di sana. Kemudian duduk di belakang ibu-ibu itu. Tak berapa lama kemudian, salah satu wanita berhijab ungu, yang hijabnya menjulur sampai ke pinggang, membalikkan badannya ke arahku. Di situlah kami mulai bercengkerama.

Kalau dilihat dari wajahnya, umur beliau sekitar 60 tahun lebih. Sembari menunggu ustaz yang belum tampak jejak kakinya, mata ibu itu berbinar seperti tersenyum menyapa diriku yang duduk tepat di belakang beliau.

“Mbaknya dari mana?”, tanya beliau dengan mulut berbalut masker.

“Dari Kenjeran, Bu”, jawabku dan kutimpal kembali dengan pertanyaan yang sama.

Ibu itu menjawab bahwa beliau tinggal di daerah Ampel dan cukup berjalan kaki dari rumahnya ke Masjid Sunan Ampel.

“Wah! Ibu masih kuat ya, jalan kaki dari rumah ke sini”, responsku

Beliau terkikik-kikik mendengar perkataan saya.

“Duh! Ya Allah nyenengke ndeleng hambane Panjenengan sumringah”, batinku.

Beliau melanjutkan, “Jauh ya, Mbak dari rumah ke sini. Sendirian juga. Gapapa Mbak, dapat banyak pahala. Semakin jauh jaraknya, semakin banyak pahala yang didapat”.

Saya terangguk dan tersenyum mengamini itu.

Di sela-sela itu, beliau bercerita bahwa memiliki banyak anak. Sampai sekarang beliau masih diberi kesehatan, sehingga bisa melihat anaknya tumbuh besar hingga kuliah. Beliau bersyukur masih diberi napas oleh Allah dan bisa menikmati masa-masa hidup di dunia yang fana.

Di detik-detik berakhirnya percakapan kami, beliau berpesan agar tetap menjaga kesehatan. Saat itulah doa saling bersaut-sautan di akhir percakapan kami.

Kami mendapat kabar bahwa ustaz sedang sakit, sehingga pangajian diliburkan sementara hingga selesai perayaan Idul Adha. Ibu-ibu yang awalnya antusias tampak kecewa dan prihatin. Namun, antusiasme mereka patut dicontoh. Karena antusiasme mereka bisa mengasah rasa peka, empati, dan simpati terhadap orang lain.

Saya tinggalkan jejak kakiku, lalu mengarah ke Makam Mbah Sholeh, Mbah Sonhaji, dan Mbah Ampel. Lantunan Al Fatihah kupanjatkan. Tak lupa para penghuni di sekitar Masjid Ampel juga kusapa dengan Al Fatihah sebelum melangkah kembali ke tempat parkir.

Bertemu dengan lalu lalang orang-orang baru, menambah energiku. Meski tak ada percakapan di antara kami. Namun, anggukan dan sapaan menghiasi plot saat itu. Melihat interaksi antara manusia satu dengan yang lain membuatku tersadar, bahwa setiap manusia memiliki takdir dan peran masing-masing. Lalu bagaimana cara mereka menjalankan peran tersebut? Allah menyerahkan itu kepada manusia-manusia itu.

***

Perjalanan belum selesai. Mengarah ke Surabaya Timur, tepatnya ke Pantai Kenjeran. Saya telah merencanakan sejak Sabtu malam yang kelabu, bahwa saya ingin berinteraksi dengan salah satu manusia untuk mengajaknya berbincang tentang perasaannya. Selain itu saya ingin bertemu dengan orang-orang baru dengan segenap aktivitas mereka.

Saya lari pagi dari Taman Suroboyo menuju Jembatan Suroboyo. Saya melihat betapa indahnya surya muncul dengan cahaya megahnya. Mengindahkan Pantai Kenjeran yang cukup prihatin saat itu. Banyak orang berbondong mengabadikan momen. Beriringan dengan indahnya surya terbit kala itu, saya berlari-lari kecil bersama angin.

Karena jarang lari pagi, napas ngos-ngosan. Saya berjalan cepat agar segera sampai di Jembatan Suroboyo. Tiba-tiba jiwa fotografi saya muncul ketika melihat pemandangan yang harus saya abadikan. Saya memilih belok untuk mengejar momentum itu. Meski jalanan masih tak beraspal dan sepi penggunjung. Saya sendirian ke sana dengan langkah panjang agar mendapatkan waktu yang pas dalam mengabadikan momen. Dua sampai lima jepretan telah kusimpan di memori gawai. Saya lanjutkan kembali langkahku menuju Jembatan Suroboyo.

Hal menarik di sana, banyak sekali orang-orang di atas jembatan, dengan berbagai macam aktivitas, pemikiran, perasaan yang tebersit saat itu. Ada yang berjualan, bikin konten, cari sensasi, ada juga yang benar-benar ingin sehat dengan cara bersepeda dan lari-lari kecil.

Di antara mereka, ada yang percaya Corona, ada juga yang tidak. Ada yang memakai masker, ada juga yang tidak. Namun, saya fokus dengan rencana awal. Saya terus melangkahkan kaki bersama langkah mereka. Melihat senyum, murung, keringat bercucuran, dan bedak tebal yang sungguh menghibur diriku. Semua hal itu sedikit membuatku melupakan masalah yang sedang kuhadapi.

Berita-berita yang kian memanas di media bisa jadi yang membuat mereka berhenti sejenak melihat, membaca, dan mendengar berita panas itu. Banyak kemungkinan yang ada di dunia ini, hingga mencari kebenaran kian sempit. Kini kita hanya bisa berbuat baik dengan sesama makhluk Allah, agar bisa melanjutkan keberlangsungan hidup di dunia yang pelik ini.

***

Kaki tak berdaya untuk berjalan lagi. Saya memilih istirahat sejenak di atas jembatan. Saya terkikik-kikik melihat gerakan senam ibu-ibu yang tak mau kalah dengan golongan anak muda. Antusiasme mereka menarik para pengunjung untuk melihatnya sebagai tontonan sembari mengumpulkan energi. Ada juga yang mengabadikan momen itu. Ibu-ibu itu berhasil menghibur orang-orang di sekitarnya tanpa mereka sadari. Orang berbuat baik tanpa harus dicap kamu orang baik.

Perutku tak kuasa menahan lapar. Mampirlah ke kedai terdekat untuk membeli roti. Mengganjal perut yang meronta-ronta minta jatah. Makan roti di pinggir Pantai Kenjeran dengan suguhan angin sepoi-sepoi, alunan musik dari Spotify, dan gemericik air yang menemani. Saya membutuhkan waktu menyendiri. Untuk lebih mengenal diriku lebih jauh dan tak lupa dengan bantuan semesta dan orang-orang sekitar.

Sebelum pulang ke kasur ternyaman untuk merebahkan tubuhku yang sudah terlalu banyak bergerak aktif. Saya mampir ke salah satu penjual di deretan Pantai Kenjeran. Beliau telah mulai berjualan sebelum saya datang. Cukup lama. Beliau senang sekali ada yang membeli dagangannya. Kerut matanya menunjukkan ukiran senyum di bibirnya. Sejak tadi, beliau baru mendapat dua pelanggan, saya pelanggan keduanya. Beliau berkata bahwa selama PPKM, dagangannya sepi dan beliau berjualan dari pagi sampai petang. Cukup menyentuh hati. “Semoga banyak yang beli ya, Pak”, kataku setelah beliau memberikan jajanan itu. “Terima kasih banyak ya, Mbak. Aamiin”, jawab beliau dengan kerut matanya yang menandakan bahwa beliau tersenyum.

Rencana kali ini tidak mulus. Ada kekecewaan, namun hari itu juga Allah memberiku sesuatu yang bermakna. Hal itu akan didapatkan ketika bisa menerimanya dengan lapang dada dan adanya kesadaran.

Dea Rachmadany. Penulis lahir di Kota Pahlawan. Pengagum senja yang kini berusaha memperbaiki hubungan dengan Tuhan dan makhluk-Nya. Bisa ditemui di akun Instagram @dea.rachmadany.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *