Oleh: Maddry San
Rasanya enak, manis dengan sedikit aksen masam dan segar. Dibalik itu, nyatanya, ada proses panjang untuk menjadikannya demikian. Bahan bakunya bisa singkong (ketela pohon) atau ketan. Kedua bahan ini diolah melalui serangkaian langkah agar bisa menjadi kudapan yang kita sebut sebagai tapai. Kami mengucapkannya “tape” dalam keseharian.
Pernah suatu masa aku bikin tape ketan dan hasilnya sungguh mengecewakan. Rasanya sungguh masam dan teksturnya masih seperti beras, nglethis. Ini istilah di Jawa untuk bahan utama yang keras dan belum matang sempurna.
Sampai satu ketika bertemulah aku dengan ibu Nawangsih, piyantun sepuh tetanggaku yang murah senyum dan lembut perangainya.
“Dalam jagat pertapean ada beberapa hal yang harus diugemi, Nduk”, ujar beliau memulai uraiannya. Tak kunyana, setua ini aku masih dipanggilnya Nduk. “Sebelum memulai, raga, hati dan penganggomu harus bersih,” lanjutnya. “Bekerjalah dalam diam, fokus dan jangan gegojegan” pungkasnya.
Selang berapa hari kemudian, usai Maghrib, kumulai ritual nape dengan pertama-tama merendam beras ketan semalaman. Esok paginya rangkaian kerja kulanjut dengan mengaru. Satu tahapan yang biasa dilakukan ketika menanak nasi. Hal yang juga penting untuk dicamkan: segala peralatan yang digunakan harus steril dari unsur minyak dan garam.
Proses selanjutnya adalah peragian. Fase ini merupakan inti dari pembuatan tape. Saat ragi ditaburkan, ketan harus dalam kondisi dingin sempurna.
Proses akhir adalah penyimpanan. Ketan yang telah ditaburi ragi, siap diperam setidaknya dua hari dua malam. Semua proses kulalui dengan tenang tidak grusa-grusu dan fokus. Pikiran tidak melayang menerawang ke awang-awang. Tidak pula merisaukan Bipang hingga provinsi Padang.
Dan benar saja, dua hari esoknya, tape sudah siap santap. Rasanya? Tak usah diragukan karena sudah pasti manis bin legit binti segar.
**
Begitupun dalam jagat nyata, sebagai pelakon kehidupan, bercerminlah kita pada tape. Intinya ada pada proses peragian. Di tahap inilah terjadi proses penghancuran ego atau semacam pengendapan syahwat, lerem, menep.
Lelaku ini bisa disejajarkan dengan kondisi saat kita puasa. Shaum (ash shiyaam) sebagai menahan dari apa yang lazimnya boleh dan dengan sengaja kita menjadikannya terlarang.
Dari situasi kedagingan yang keras penuh nafsu duniawi, setelah menepi dan lerem, kau akan menjelma pribadi yang lunak, lebih bijak, reborn to be a wise man.
Jika boleh berandai-andai, sangat layak filosofi tape ini diterapkan juga oleh para petinggi negeri beserta segenap stake holder yang kepada mereka amanah kita percayakan. Haqul yakin, kecamuk ihwal mengguritamya kasus mega korupsi dan ketamakan struktural bisa ditekan hingga titik nadir yang melegakan.
Tersebab semua bermula dari liarnya syahwat akan gemerlap harta dan kemilau kekuasaan. Kecamuk ambisi yang mampu menggelapkan nurani dan akal.
Lalu dengan laku nape, apakah kita harus jadi pribadi yang anti dunia, say no to settled condition; anti kemapanan? Oh, tentu saja tidak, Rudolfo…
Sah-sah saja menjadi kaya. Jika kau mampu, tetap genggamlah saja dunia. Syaratnya hanya satu: jadikan nikmat dunia hanya sebagai budak belian. Engkaulah tuan yang baik atas hartamu bukan sebaliknya. Harus tetap kau tegaskan garis demarkasi yang jelas antara keduanya.
Inilah makna hakiki menapekan diri. Sebuah pilihan yang akan menjadi lonceng pengingat, alarm. Tingkatan selanjutnya sebagai buah dari jalan itu adalah bahwa kita akan selalu eling lan waspada. Cermat dan ingat di sepanjang perjalanan. Karena sejatinya kilau dunia hanyalah tipuan yang memperdayakan.
—oOo—
Maddry San, seorang ibu rumah tangga yang sibuk menjadi guru bagi anak semata wayangnya di masa pandemi. Riweuh dan risau soal Indonesia, bombardir Israel hingga kualitas tontonan di televisi. Akun FBnya @maddry san terbuka bagi lalu lintas pemikiran dan diskusi.