Terkadang, kita mendambakan hidup tanpa batas—menjadi seperti superhero yang bisa melakukan apa saja, menaklukkan segalanya, dan melewati setiap rintangan demi mencapai ketakterbatasan. Para motivator sering berkata, “Lewatilah batas-batas dirimu untuk meraih kesuksesan.” Tapi, benarkah semua batas harus diterjang? Apakah kebebasan sejati berarti hidup tanpa batas? Ataukah justru batas adalah bagian dari keseimbangan yang membuat hidup lebih bermakna?
Majelis Masyarakat Maiyah BangbangWetan edisi Februari 2025 hadir dengan tema Ngelaras Wates. Dalam bahasa Jawa, ngelaras berarti menyelaraskan atau menyesuaikan dengan sesuatu, sedangkan wates berarti batas. Menyesuaikan diri dengan batasan—itulah inti permenungan kita malam ini.
BangbangWetan kembali digelar di Taman Budaya Cak Durasim, menghadirkan jamaah dari berbagai kalangan dengan beragam kisah pencarian kehidupan. Malam itu, suasana pendopo tampak sederhana namun hangat, asyik untuk bercengkerama. Cahaya lampu temaram berpadu dengan udara yang sedikit dingin setelah hujan mengguyur sore tadi.
Pelataran Cak Durasim tampak basah oleh gerimis tipis, tetapi hal itu sama sekali tidak menyurutkan semangat para penggiat. Mereka tetap sibuk menata panggung, memasang peralatan, dan memastikan kesiapan semua perlengkapan. Bahkan, hujan badai sekalipun tak akan menghalangi tekad mereka—begitulah semangat yang mereka pegang.
Pambuka
Majelis Ilmu BangbangWetan (BbW) diawali dengan pembacaan Nderes, lantunan ayat-ayat suci dari Juz 10–12 (Surah Al-Anfal ayat 41, Surah At-Taubah, dan Surah Yunus ayat 109). Bacaan ini disusul dengan Wirid Maiyah, mengingatkan kita untuk memulai segala sesuatu dengan bertasbih pada Sang Pencipta—Bismillah.

Sesi berikutnya dibuka oleh moderator, yang mengawali diskusi dengan mengulas prolog tema ‘Ngelaras Wates’. Dengan penuh syukur, moderator menyampaikan apresiasi kepada seluruh tim BbW yang telah bekerja keras demi terselenggaranya majelis malam ini.
Tema ‘Ngelaras Wates’ lahir dari kegelisahan terhadap berbagai fenomena yang terjadi di Bumi Pertiwi. Salah satu yang disoroti adalah penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) dalam kasus pagar laut. Kisah seorang anak manusia yang merasa bebas melakukan apapun di muka bumi hingga rela mengorbankan lingkungan dan kepentingan bersama.
Moderator memberikan sedikit bocoran bahwa tema ini akan menjadi bekal (sangu) menjelang bulan puasa yang segera tiba. Bagaimana kaitannya? Mari kita bahas bersama.
Panggung Bertutur: Puisi, Teater, dan Musik
Adegan 1
Moderator mempersilakan Mbak Yusron untuk naik ke panggung. Dengan penuh penghayatan, ia membacakan puisi ‘Doa Sehelai Daun Kering’ karya Mbah Nun. Kata demi kata mengalun, mengalirkan makna mendalam di setiap baitnya:
…Aku sehelai daun kering, namun bertasbih kepada-Mu.
Aku budak yang kesepian, namun yakin pada kasih sayang dan pembelaan-Mu.
Puisi yang mengajarkan nilai kepasrahan & penghambaan, tentang kecilnya manusia dibandingkan hamparan kebesaran penciptaan alam semesta – ibarat sehelai daun kering yang hanya bisa pasrah diterjang angin, menunggu nasib jatuh di tanah kering. Sebuah gambaran tentang betapa terbatasnya manusia dihadapan keagungan Sang Pencipta.
Adegan 2
Pertunjukan panggung beralih dari puisi ke teater, persembahan dari komunitas PAC IPNU Gedangan. Lampu meredup. Latar kelam menyelimuti panggung, diiringi dentuman gong yang menggema di seluruh ruang. Dua insan masuk, membawa bongkahan mayat—sebuah simbol kehilangan yang tak terelakkan. Petikan gitar dan alunan biola mengisi jeritan penyesalan. Seorang wanita berteriak dengan wajah penuh penyesalan. Ia datang untuk melakukan pertobatan kepada Dzat Sang Pencipta, menyadari bahwa keangkaramurkaan selalu berujung pada kehancuran. Karma, setiap perbuatan akan berbalik kepada diri sendiri, jika hanya kerusakan yang kau tanam, maka tunggulah hingga kerusakan, kehancuran & kematian datang kepadamu.

Adegan 3
Tidak berhenti di sana, musik akustik dari Mas Arul, Komunitas Majelis Sastra Urban Surabaya, turut menyampaikan pesan melalui irama lagu:
“2048, kita tidak bisa lagi makan seafood, air laut semakin tinggi…”
Dudududu… Dududu…
Bumi airku, danau & tumbuhan adalah sahabat kita semua…
Ingatlah generasi nanti, jangan kau sisakan hanya kerusakan…
Sebab jika tidak, bencana akan datang…
Penggalan lirik lagu tersebut mengandung pesan kuat tentang kesadaran lingkungan dan tanggung jawab kita terhadap bumi. Bukankah memang demikian seharusnya? Sebagai Khalifah fil Ardh, manusia diwajibkan merawat dan menjaga bumi pertiwi. Sayangnya, kita sering lupa bahwa manusia membutuhkan alam lebih daripada alam membutuhkan manusia.
Malam itu, panggung tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga menjadi ruang refleksi—mengajak kita merenungkan hidup, batas, dan kebebasan yang harus dijaga.
Batas-batas Awal
Malam ini, BangbangWetan dibersamai tiga narasumber kompeten di bidangnya, di antaranya adalah Pak Beta Sofian dari Stand Up Indo Surabaya, Dosen FISIP UNAIR Irfa’i Afham, S.IP., M.Si., serta Dosen Hubungan Internasional UNAIR Probo Darono Yekti, S.Hub.Int., M.Hub.Int. Sementara, Mas Sabrang dan Mas Amin Tarjo akan turut membersamai pada sesi selanjutnya.

Diskusi diawali dengan pemaparan dari Pak Probo, yang mengajak para peserta untuk merefleksikan berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia, khususnya terkait dengan pembangunan pagar laut. Menurutnya, sebagai negara kepulauan yang terletak di batas Khatulistiwa, Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga ekosistem laut.
Pak Probo menjelaskan bahwa pagar laut awalnya dirancang untuk memecah ombak guna menciptakan sedimen dan membentuk daratan baru. Namun, dalam perspektif hukum laut internasional, status hukum dari hasil reklamasi ini masih menjadi perdebatan. Masalah semakin kompleks ketika izin pembangunan dikeluarkan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial jangka panjang.
Salah satu dampak yang paling terasa adalah perekonomian nelayan. Pak Probo mengungkapkan bahwa keberadaan pagar laut menghalangi akses nelayan menuju laut lepas. Mereka terpaksa memutar hingga 30 kilometer hanya untuk mencapai area penangkapan ikan yang lebih produktif. Akibatnya, biaya operasional meningkat, terutama untuk bahan bakar, sementara waktu efektif nelayan dalam menangkap ikan berkurang secara signifikan.
Pak Irfa’i, menambahkan bahwa menjaga keseimbangan ekosistem laut sangat penting bagi keberlanjutan hidup manusia. Beliau menyoroti bahwa permukaan air laut mengalami kenaikan dengan laju yang semakin cepat setiap tahunnya. Bahkan, sekitar 40 persen wilayah Jakarta Utara kini berada di bawah permukaan laut, menjadikannya sangat rentan terhadap banjir.
Dampak yang ditimbulkan tidak hanya dirasakan oleh masyarakat pesisir, tetapi juga mencakup perubahan ekosistem laut dan penurunan keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya pengelolaan kawasan pesisir yang lebih bijak berbasis kajian ilmiah.
Dalam suasana diskusi yang semakin intens, Pak Beta Sofian memberikan sentuhan humor dengan gaya khasnya. Ia menilai bahwa kondisi pantai di Indonesia masih kurang terawat dan menggambarkan sebuah skenario absurd: seorang pejabat pemerintah mengawal pagar laut sambil menaiki perahu bersama lumba-lumba, layaknya wisata arung jeram. Guyonannya disambut gelak tawa para peserta, mencairkan suasana diskusi.
Selain pemaparan dari narasumber, diskusi juga diselingi dengan penampilan musik dari Mas Arul yang membawakan lagu karya Mas Antok Baret. Musik Patrol Man Mahabbah juga turut meramaikan acara dengan membawakan lagu ‘Sugih tanpa Bondo’ karya Mbah Tedjo dalam aransemen khas alat musik tradisional. Alunan musik patrol turut mengiringi kehadiran Mas Sabrang, melangkah ke atas panggung.
Sesi diskusi awal ditutup dengan pembacaan puisi oleh Mbah Mahdi yang menyentuh hati para peserta. Ia membacakan bait penuh makna, “Dulu pagar memakan tanaman, sekarang pagar memakan nelayan.” Sebuah refleksi mendalam tentang dampak kebijakan yang harus dipertimbangkan dengan lebih matang demi kesejahteraan masyarakat luas.
Kebebasan Bertanya
Moderator mengundang para jamaah, “Silakan, bagi siapa pun yang ingin bertanya atau berpendapat, mari berbicara,” ajaknya, mengundang jamaah untuk bebas menuangkan pemikiran mereka. Tak butuh waktu lama, tidak kurang dua belas orang bangkit dari duduknya, menaiki panggung satu per satu. Tim Redaksi menyampaikan maaf bila tidak semua pertanyaan ditampilkan karena keterbatasan halaman, tapi InsyaAllah setiap pertanyaan & jawaban sudah terwakili.

Mas Rafi mendapat giliran mengambil mikrofon lebih dulu. “Kadang kita terlalu sibuk menilai, tanpa lebih dulu bercermin,” ujarnya. “Sebelum menyimpulkan sesuatu sebagai baik atau buruk, bukankah lebih bijak jika kita introspeksi diri? meminjam konsep hayuning bawana, beliau mengajak kita untuk senantiasa menjaga keindahan bumi dengan terus berusaha merawatnya.
Dari sudut lain, seorang jamaah mengangkat tangan. “Saya sering bingung,” katanya dengan suara pelan, “bagaimana cara menyeimbangkan keyakinan beragama dengan tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia?” Pertanyaan itu menggantung di udara. Seperti angin keresahan yang barangkali dirasakan banyak orang.
Mas Rifki, hadir dengan membawa keresahan lainnya, memotret kemajuan kecerdasan buatan yang semakin canggih, di sisi lain beliau mencemaskan nasib anak cucunya nanti, kekhawatiran bahwa generasi masa depan hanya menjadi bagian dari sistem yang dikendalikan oleh AI.
Mas Novendi, yang duduk di barisan depan, tampak sedang memikirkan sesuatu. “Saya masih mencoba memahami apa yang pernah dikatakan Mas Sabrang di forum lain,” katanya dengan berhati-hati. “Tuhan itu tak terbatas. Tapi Dia menciptakan manusia yang terbatas. Ada perintah, ada larangan, semua dalam batas yang bisa kita jalani.”
Di pojokan, Mas Aris tersenyum kecil, lalu mengangkat tangannya. “Saya ingat forum BbW awal 2000-an,” katanya. “Dulu, diskusi lebih luas, bebas berkelana, tapi tetap ada kesimpulan yang bisa kita bawa pulang. Sekarang? Rasanya kurang terarah, kurang membumi.” Sebagian jamaah tersenyum tipis.
Di sudut yang lain, Mas Setiawan termenung dengan kitab Al-Hikam di tangannya. Ia bertanya-tanya tentang konsep syukur dan takdir. Jika semua sudah ditentukan, lalu apa gunanya usaha? Namun, ia juga sadar ada takdir yang bisa diubah dan ada yang tidak. Pertanyaannya, bagaimana membedakan keduanya? Apakah ia harus menyerah pada keadaan atau tetap berjuang?
Lalu tibalah giliran Mas Nasruddin angkat bicara, beliau mengungkapkan kekagumannya terhadap lagu-lagu Letto. Menurutnya, sebagus apa pun lagu Letto dibawakan oleh penyanyi lain, tetap terasa ada yang berbeda—tidak sebagus saat dinyanyikan oleh penyanyi aslinya, Mas Sabrang sendiri. Dengan serta merta, Mas Nasruddin menoleh ke arah Mas Sabrang, lalu dengan sedikit nada menggoda berkata, “Gimana, Mas? Malam ini bawain satu lagu?”.
Beberapa yang hadir pun terkekeh, tidak luput Mas Sabrang, merasa kalau dirinya sedang digoda untuk bernyanyi. Dalam hatinya mungkin beliau bergumam, “Mau ngasih akomodasi berapa, nih, beraninya nyuruh saya nyanyi?, ekekek.”
Batas Kebebasan Manusia
Mas Sabrang berterimakasih atas setiap pertanyaan dan pendapat yang hadir. Beliau berusaha mengelaborasi setiap pendapat dengan mengembalikannya pada konsep hakikat manusia. Manusia, sebagai entitas biologis dan sosial, senantiasa dihadapkan pada batas-batas yang membentuk dan membatasi eksistensinya.

Batasan ini dapat dikategorikan ke dalam tiga fundamental utama yang menentukan dinamika kehidupan manusia: kebutuhan, kesadaran, dan keputusan. Masing-masing aspek ini tidak hanya mempengaruhi tindakan individu, tetapi juga membentuk struktur sosial yang lebih luas.
Kebutuhan sebagai Dasar Eksistensi. Manusia hidup dengan berbagai kebutuhan. Ada kebutuhan primer (makan, minum, tidur), dan kebutuhan sekunder hingga tersier yang berkembang seiring peradaban (pendidikan, pengakuan sosial, dan regulasi hukum).
Kebutuhan ini, baik yang berasal dari hukum alam maupun buatan manusia, menentukan tindakan individu dalam upaya memenuhi keseimbangan hidupnya. Sebagai contoh, gravitasi adalah batas alami yang membatasi gerak manusia. Demikian pula terjadi pada batasan sosial, seperti kepemilikan dokumen identitas E-KTP merupakan kebutuhan yang ditetapkan oleh sistem sosial. Keduanya sama penting, demi kelangsungan kehidupan & interaksi sosial yang padu.
Kesadaran: Konsepsi terhadap Batasan. Kesadaran adalah mekanisme kognitif yang memungkinkan manusia mengenali batasannya, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Berbeda dengan kebutuhan yang bersifat mendasar, kesadaran memberikan ruang bagi manusia untuk menginterpretasikan batasan yang ada dan menentukan sikap terhadapnya.
Keterbatasan yang ditetapkan oleh alam bersifat absolut dan harus diterima, sementara keterbatasan yang ditetapkan oleh manusia bersifat relatif dan dapat dinegosiasikan.
Keputusan: Kebebasan Pilihan dalam Batasan. Keterbatasan yang diciptakan manusia, kamu bisa memilih gamenya, bisa lepas, memilih ikut atau tidak ikut. Apakah game yang ingin kamu subscribe adalah perlombaan kekayaan, perlombaan ketenaran ataukah perlombaan kebaikan. Kamu semua dibebaskan Allah untuk memilih jalan & game-mu masing-masing.
Bahkan, kamu dapat memilih untuk mematuhi aturan sosial atau menentangnya. Misalnya, hukum negara menetapkan regulasi tertentu yang mengikat individu dalam komunitas, tetapi individu juga memiliki kebebasan untuk mempertanyakan atau bahkan mengubah hukum tersebut melalui mekanisme demokrasi dan aktivisme sosial.
Kita sebagai sesama manusia sama-sama punya limit batasan berupa waktu, modal & energi yang kurang lebih sama. Masalah biasanya datang dari keputusan yang tidak tepat. “Maka pastikan! melakukan segala sesuatu dengan pertimbangan efektif efisien, dan paling penting bisa kamu nikmati. Ayo jalan bareng-bareng, mati dengan tidak menyesali apapaun, sebisa mungkin mengisi kegiatan bermanfaat di muka bumi, agar bisa menjadi manusia berarti”, ajak Mas Sabrang.
Mas Sabrang kemudian mencoba menjawab pertanyaan yang mengemuka sebelumnya. Beliau menegaskan bahwa perintah Tuhan dan tanggung jawab dalam bernegara sejatinya bukanlah dua entitas yang saling bertentangan, melainkan dua hal yang dapat saling bersinergi.
Jika kita mengacu pada teori kontrak sosial dari Rousseau maupun gagasan politik dari Al-Farabi, negara yang ideal adalah negara yang mampu mencerminkan nilai-nilai yang dipegang oleh rakyatnya, termasuk nilai spiritual dan etika yang berasal dari keyakinan keagamaan. Dalam hal ini, negara bukanlah entitas yang berdiri di luar nilai-nilai agama, melainkan sebagai sistem yang seharusnya mampu mengakomodasi prinsip-prinsip universal seperti keadilan, kesejahteraan, dan kebebasan dalam batasan.
Mas Sabrang juga berusahan menarik benang merah atau titik temu atas banyaknya pertanyaan yang muncul. “Hidup di bumi ini bukan hanya tentang manusia, tapi juga hewan, lingkungan, dan sistem yang saling berkelindan. Kekuasaan yang tidak selaras lahir dari pilihan kita sendiri. Pemimpin adalah cerminan rakyatnya. Jika pemimpin curang, itu berarti kita sendiri yang membiarkan kecurangan terjadi. Jika ingin perubahan, mulailah dari diri sendiri dan lingkungan terkecil di sekitar kita.”
Setelah rangkaian diskusi yang penuh makna, moderator kembali mengambil alih kendali acara. Dengan suara tenang namun tegas, moderator mempersilakan setiap narasumber untuk menyampaikan kesimpulan mereka, merangkum hikmah yang telah terjalin sepanjang malam ini.
Dengan penuh keyakinan, Pak Irfa’i menegaskan bahwa keberanian mengambil inisiatif adalah kunci. Kita tidak perlu menunggu kesempatan besar; cukup mulai dari hal kecil, dari lingkungan terdekat, karena manfaat sekecil apa pun tetaplah berarti.
Pak Probo kemudian menyambung, membawa refleksi yang lebih dalam. Di BangbangWetan, katanya, kita diajak untuk tidak menerima kenyataan begitu saja. Kita belajar berpikir kritis, menggugat, dan mencari jalan keluar. Sebab diam bukanlah pilihan, dan batas-batas yang ada harus dipertanyakan. Inilah esensi dari ‘Ngelaras Wates’—sebuah upaya memahami dan menyelaraskan diri dengan kehidupan, tanpa kehilangan keberanian untuk bertanya dan menantang yang sudah mapan.
Pak Beta, dengan senyum penuh arti, menutup sesi dengan sebuah pengingat sederhana namun berharga: ilmu tidak hanya berpendar di atas panggung, tetapi juga mengalir di antara hadirin. Ia mengucapkan terima kasih atas setiap pandangan, gagasan, dan percikan pemikiran yang telah mengisi malam ini, menjadikan forum ini lebih dari sekadar pertemuan—melainkan ruang belajar bersama.
Kontemplasi
Kontemplasi hadir dalam berbagai rupa. Cover lagu Letto ‘Sebelum Cahaya’ menggema di pelataran Cak Durasim. Musik Patrol begitu meriah, gemerlap, sedikit sumbang tapi itulah batas yang membingkai keindahan. Mas Sabrang tampak ikut melantunkan lagu dengan suaranya yang khas. Penonton pun ikut bernyanyi.
Dilanjutkan lagu BangbangWetan karya Mbah Nun & Kiai Kanjeng. Aransemen & persembahan yang membuat merinding setiap pendengar. Lagu itu bukan hanya sebuah karya, ia adalah seruan—seruan bagi yang masih terlelap, bagi yang masih ragu, bagi yang lupa bahwa cahaya timur tak pernah padam, hanya tertutupi kabut malam.
“Ubur ubur ikan lele, ojok mundur le”, penggalan puisi yang dibawakan Mbah Mahdi memungkasi sesi kontemplasi.
Epilog
Memasuki jam 1 dini hari, Majelis Ilmu Bangbangwetan dipungkasi dengan sholawat bersama yang dipimpin oleh Pak Achmad Luthfi .

Malam ini, BangbangWetan tak hanya menjadi ruang bertukar pikiran, tapi juga cermin bagi kita semua. Kebebasan bukan berarti tanpa batas, dan batas bukan berarti penjara—keduanya harus selaras, ngelaras wates, demi menjaga keseimbangan semesta.
Hemat penulis, “Bayangkan jika tidak ada batas kecepatan di jalan raya, hanya pengemudi dengan insting cheetah yang selamat. Jika tidak ada batas antrean di warung makan, hanya mereka yang lihai sikut-menyikut yang mendapat nasi pertama. Jika tidak ada batas kuota Wi-Fi gratis, kita semua akan kehabisan akses karena ulah mereka yang memanfaatkannya tanpa peduli orang lain. Maka dari itu, batasan bukanlah belenggu, melainkan aturan main agar semuanya berjalan dengan adil.”
Selamat melakukan puasa batas, dan berjumpa pada BangbangWetan Edisi Ramadhan!
Oleh : Redaksi BangbangWetan



