Mendaur Nasib 2 : Sebuah Seni Membodohi Diri

Bagikan

Oleh : Eren Sugiharto

Oleh : Eren Sugiharto

Nasib itu apaan sih? Sesuatu yg sudah ditentukan oleh Tuhan atas diri seseorang, versi KBBI. Dalilnya bisa bermacam-macam. ‘Takdir lunak’, merujuk ketentuan-Nya yang masih bisa diutak-atik. Tapi pernah ga kepikiran kalo sebenarnya ‘nasib’ ini bentuk kasih sayang Tuhan? Saat realita mulai menyesakkan, mengikis rasa syukur, masih aman dari dosa jika ngamuk menggugat keadaan. Sebut saja dua kali biar kegagalanmu terasa mendingan. Oalah Nasib nasib.

Mendaur Nasib ini konsep baru, terdengar metaforis tapi ambigu. Apalagi pencetusnya seorang anonim tanpa portofolio. Frasa ini lebih cocok diusung mereka yang hidupnya sudah nyaman, bukan golongan ‘the bottom of pyramid’. Mau diapakan lagi, keadaan orang-orang yang terlanjur dibawah? Disarankan untuk rajin menabung pakai pepatah lama ‘hemat pangkal kaya’, masih tidak relevan. Hemat bukan jadi pilihan tapi karena keadaan. Mendaur nasib ini lebih pas untuk orang yang sudah punya mesin daur ulang, bukan mereka yang cuma punya plastik bekas. Tapi mesin itu sebenarnya ada,  tersembunyi di jernihnya pikiran, disambut dengan aksi nyata dan dibungkus semua dengan do’a. Masak iya Tuhan ga kasian?

Emangnya aksi nyata saja cukup? Seorang buruh tani bisa bekerja mencangkul sampai punggungnya melengkung tapi nasibnya masih rata dengan sawah, sebab harga gabah ditentukan tengkulak dan stock pupuk diatur mereka yang duduk diruangan ber-AC. Tampak sepeti ironi yang sudah diatur, agar piramida tetap besar dibawah. Miskin. Jadi, kemiskinan ini sebenarnya karena ga maksimal usaha atau dimiskinkan!

Merenungi nasib memang tidak ada habisnya, untuk apa juga. Mbah Nun berpesan, yang perlu direnungkan itu diri sendiri.

“Yang perlu direnungi adalah perkembangan kerja kerasmu, ketekunan atau kemalasanmu, ketangguhan atau kerapuhan mentalmu, ketenangan atau kegalauan hatimu, pengolahan kecerdasan atau pembodohan akal pikiranmu.”  Daur 1 • 51

Konsep ini bukan romantisme untuk meratap sampai bodoh, tapi sikap mental untuk bertahan dan bereaksi.

Jadi, mendaur nasib itu sebenarnya mengembalikan semua akibat pada diri sendiri, lalu melangkah dengan formulasi baru? Atau sekedar menunda frustasi? Hidup memang kadang terasa absurd kawan, jadi biasakan. Kata sawang-sinawang menjadi jurus pamungkas para konselor, saat sesi konseling tongkrongan. Itu cuma akal-akalan agar yang merengek sedikit lebih tenang, seolah semua masalah soal perspektif saja. Padahal tidak ada konsep sawang-sinawang, yang ada itu konsekuensi.

Seorang karyawan dengan hidup statis, berada di zona nyaman keteraturan waktu dan gaji bulanan, dengan konsekuensi jangkauan tak mungkin melebihi gaji. Sebaliknya pengusaha dengan dinamika waktu dan pemasukannya punya potensi untuk menjangkau yang lebih besar. Semua tentang konsekuensi.

Hidup itu seperti roda berputar, kadang diatas-kadang dibawah. Analogi usang ini lemah, ngapain juga pasrah jadi roda? kan bisa jadi kemudi. Itulah inti dari sikap mental mendaur nasib: pegang kendali. Seperti main catur yang tidak bisa fokus pada satu bidak. Meski ternyata kita cuma pion. Selesaikan saja peran sampai garis akhir pertahanan lawan, hingga pion berubah jadi ratu. Ini bukan tentang menang atau kalah, tapi tetap bisa bermain cantik meski papan catur milik orang lain.

Surabaya, 2 Desember 2024.

 

Eren Sugiharto, Sinis, Skeptis, Tidak Quotable, bisa disapa melalui vodkid99@gmail.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *