Menjaga Gelombang Maiyah: Mengakar pada Anak, Mengalir Melintasi Zaman

Bagikan

Oleh : Jembar Tahta Anillah

BangbangWetan edisi Desember 2024 kali ini ditemani oleh suasana malam yang cerah setelah beberapa hari diguyur hujan. Namun, baik hujan maupun cerah, para penggiat tetap istiqomah melingkar. Edisi kali ini memiliki sesuatu yang menarik untuk dipandang dan didalami. Ketika para penggiat sibuk mempersiapkan acara, sebelum Isya’ terlihat satu keluarga telah hadir, yaitu: ayah, ibu, dan kedua anaknya. Mereka berempat tampak bergairah untuk ikut Maiyahan. Semangat ini terlihat dari antusiasme mereka sejak awal kedatangan. Kelak diketahui bahwa keluarga tersebut  adalah keluarga Pak Dhani.

Gairah dan semangat tersebut semakin tampak ketika acara pembuka dimulai dengan nderes dan wirid. Kedua anak Pak Dhani duduk paling depan. Ketika moderator mengawali forum, kedua anak ini dengan percaya diri naik ke panggung untuk menjawab beberapa pertanyaan. Ternyata, mereka masih kelas satu SMA dan satu SMP. Usia mereka masih muda tetapi sudah berani berbicara di panggung BangbangWetan. Berani berbicara di hadapan audiens yang lebih dewasa adalah hal yang luar biasa. Keberanian tersebut, menurut pengakuan mereka, adalah hasil motivasi dari sang ayah. Anak-anak tersebut mengatakan bahwa mereka diminta ayahnya untuk duduk di depan agar dapat fokus mendengarkan dan mendapatkan ilmu.

Ketika anak-anak menyebut ayah mereka, moderator langsung memanggil Pak Dhani ke atas panggung untuk berbagi cerita. Moderator bertanya, “Mengapa memilih Maiyah sebagai tempat belajar bersama keluarga dan mengapa Maiyah menjadi pilihan edukatif untuk anak-anaknya?” Jawaban Pak Dhani cukup mendalam. Ia membawa anak-anaknya ke Maiyahan agar mereka belajar fokus dan melatih public speaking dengan berani maju ke depan. Selain itu, Pak Dhani juga menceritakan bahwa ia telah mengikuti Maiyahan selama 24 tahun, mulai dari Padangmbulan, BangbangWetan, hingga Mocopat Syafaat. Pak Dhani juga mengajak istrinya, Bu Erwin, untuk naik ke atas panggung. Pada momen itu, satu keluarga ini berbagi cerita tentang perjalanan mereka menemukan Maiyah dan pengalaman hidup lainnya.

Karena waktu sesi terbatas, saya masih ingin mendengar lebih banyak cerita tentang Maiyah dari keluarga Pak Dhani. Setelah mereka turun dari panggung, saya langsung mengajak mereka untuk sedikit berbincang. Saya memulai obrolan dengan pertanyaan, “Mengapa mengenalkan Maiyah kepada anak-anak njenengan?” Pak Dhani menjawab bahwa dunia semakin lama semakin banyak perubahan. Zaman sekarang berbeda dengan zaman anak-anak mereka nanti. Ia mengenalkan Maiyah kepada anak-anaknya agar di tengah banyaknya perubahan, mereka mampu memperbaiki keadaan. Maiyah, menurut Pak Dhani, adalah salah satu alat untuk memperbaiki keadaan. Jawaban tersebut mengingatkan saya pada pesan Mbah Nun di Padangmbulan edisi Juli 2022, saat Allahuyarham Mbah Mif dan Allahuyarham Mbah Fuad membersamai jamaah di panggung. Mbah Nun mengatakan bahwa amal sholih adalah memperbanyak kebaikan dan memperbaiki keadaan. Pak Dhani menggunakan Maiyah sebagai sarana agar anak-anaknya terus beramal sholih. Ketika saya bertanya tentang harapan kepada anak-anaknya, Pak Dhani menjawab bahwa ia ingin anak-anaknya berguna bagi bangsa dan agama. Baginya, itulah kunci amal sholih—berguna bagi bangsa dan agama dengan cara memperbaiki keadaan serta memperbanyak kebaikan.

Saya lalu bertanya kepada Bu Erwin, “Apa nilai Maiyah yang sampai saat ini dipegang dalam keluarga ini?” Bu Erwin mengingat pesan Mbah Nun bahwa melakukan hal yang kita sukai itu biasa saja, tetapi melakukan hal yang tidak kita sukai dengan ikhlas dan ridho jauh lebih mulia. Misalnya, kita suka bermain bola dan melakukannya itu biasa. Namun, seperti puasa, meskipun ada rasa tidak nyaman dengan kelaparan, kita melakukannya dengan ikhlas dan ridho. Hal ini oleh Pak Dhani disebut sebagai tirakat.

Tirakat keluarga Pak Dhani sangat luar biasa. Dulu, Bu Erwin adalah guru Bahasa Inggris di Singapore National Academy dengan gaji yang sangat besar. Salah satu muridnya bahkan adalah anak konglomerat. Namun, Pak Dhani tegas mengajak Bu Erwin dan anak-anaknya meninggalkan kemewahan tersebut untuk turun ke masyarakat pelosok di Yogyakarta, tepatnya di pondok pesantren Allahuyarham K.H. Muzammil, salah satu Marja Maiyah. Di sana, menurut Pak Dhani, mereka belajar bermanfaat kepada bumi. Pemaknaan saya, keluarga ini ingin sebanyak mungkin bermanfaat kepada orang lain, meskipun tanpa bayaran. Tentu saja, tanpa bayaran menjadi tantangan dalam rumah tangga, tetapi keluarga ini tetap berusaha untuk belajar bertirakat. Sebagaimana dikatakan Mas Sabrang, tirakat adalah tidak mengambil hak kita. Bu Erwin sebagai guru Bahasa Inggris di institusi mewah sebenarnya berhak mendapat gaji besar, tetapi ia memilih tidak mengambil hak tersebut dan turun membantu rakyat pelosok tanpa bayaran. Saya menyebut perjalanan ini sebagai jalan sunyi yang ditempuh dengan ikhlas dan ridho.

Di penghujung obrolan, saya bertanya kepada Bu Erwin, “Apa hubungan pekerjaan Anda sebagai guru Bahasa Inggris dengan Allah?” Pertanyaan ini terkesan absurd karena saya mengingat bahwa Maiyah melihat tauhid adalah cara kita memahami bahwa apapun yang terjadi dan apapun yang ada di bumi ini tidak ada yang tidak berkaitan dengan Allah. Bu Erwin menjawab dengan tegas bahwa bahasa Inggris hanya alat untuk menyampaikan nilai-nilai Islam. Ia bercerita bahwa ketika mengajar di institusi mewah tersebut, murid-muridnya mayoritas non-Muslim. Namun, ia tetap mengajarkan nilai-nilai Islam, seperti berdoa sebelum belajar dan mendahulukan tangan kanan dalam setiap pekerjaan. Dengan demikian, Bu Erwin berhasil menghubungkan profesinya dengan nilai-nilai yang diajarkan Allah Swt.

Saya juga bertanya kepada Pak Dhani yang kini berprofesi sebagai peternak ayam. Ia merawat ayam hingga siap dijual, tetapi bukan untuk judi ayam atau sabung ayam. Ketika saya bertanya hubungan pekerjaannya dengan Tuhan, Pak Dhani menjawab bahwa ia selalu merasa takjub dengan ciptaan Allah. Melihat ayam bertelur, misalnya, ia merasa bahwa anugerah Allah itu luar biasa. Menurut saya, Pak Dhani mampu merasakan keberadaan dan keajaiban Tuhan di manapun dan dalam situasi apapun.

Ilmu tentang amal sholih dan tirakat yang dilakukan oleh keluarga Pak Dhani, baik dalam lingkup keluarga maupun dalam hubungan dengan sesama manusia adalah nilai Maiyah yang harus kita jaga bersama. Biarkan Maiyah hidup sebagai nilai, bukan identitas. Sebab, Maiyah bukan pohonnya, tetapi tumbuhnya: bukan air dalam ombak, tetapi gelombangnya. Ketika Maiyah dijadikan patokan nilai dalam kehidupan, maka ia tidak hanya berlandaskan kata-kata, tetapi juga aksi nyata.

 

Jembar Tahta Anillah. Pejalan sunyi, penikmat karya Tuhan. Sedang menyelesaikan studi S1 Hubungan Internasional di UIN Sunan Ampel Surabaya. Anda bisa menyapa melalui akun instagram @jmbr_anillah

4 komentar untuk “Menjaga Gelombang Maiyah: Mengakar pada Anak, Mengalir Melintasi Zaman”

  1. Maturnuwun ya mas Jembar, wish you Will accomplish your Bachelor degree soon and achieve what you dream in life. Salam Maiyah.

  2. Semoga pak Dhani, bu Erwin dan anak-anaknya diberikan kesehatan dan bisa memberikan dampak baik kepada siapapun. Semoga cita-cita baiknya diridhoi Allah SWT.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *