Kembali ke Titik Awal

Reportase BangbangWetan Bulan Oktober 2025             

Fantadziris-sa’ah, kalimat yang kerap muncul di mimbar. Perlu upaya untuk tidak segera membayangkan ancaman teologis yang melekat padanya. Mungkin itu bukan ancaman tentang hari akhir, tapi pertanda bahwa dunia sedang kehilangan keseimbangan.

Perbedaan adalah tanda kehidupan. Setiap manusia diberi bagian ilahiah, sebuah amanah kecil dalam kehidupan yang singkat. Ada yang tangannya cekatan, lidahnya fasih, atau hatinya halus membaca rasa. Namun tanyakan sejenak — apakah manusia masih sanggup menjaga amanah kecilnya di bumi ini?

Malam itu, BangbangWetan hadir di Titik Nol Surabaya. Forum digelar di taman terbuka Pos Bloc. Di forum terbuka ini, fantadziris-sa’ah, yang semula duduk di mimbar, kini sedang berjalan perlahan. Jamaah dengan berbagai rupa pun datang. Beberapa duduk berkelompok di rerumputan. Di sisi kanan, tampak deretan street coffee dan Kedai Kopi Bu Sofi berjejer rapi disertai dengan stand Pojok Ilmu.

Wirid ke Tawa

Tepat jam tujuh malam, nderes dan wirid mulai bersahutan—hadiah Al-Fatihah untuk Mbah Nun, Mbah Fuad, para marja’ Maiyah, keluarga ndalem, para pendahulu BangbangWetan, dan korban Pondok Pesantren Al-Khoziny.

Dari surah ke surah. Zikir itu memanjang: Ya Allah Ya Mannan, Ya Kariim; Ya Allah Ya Fattah, Ya Kariim…

Trio Moderator—Mas Amin Ungsaka, Mas Diky, dan Mas Jembar. Kombinasi angka yang tak biasa—Mas Amin & Mas Jembar berdiri di sisi panggung, Mas Diky justru menyapa dari barisan jamaah paling belakang. Mereka saling menimpali, bergurau, membuat jarak antara panggung dan jamaah seolah lenyap. Gayeng.

Mas Amin membuka dengan sapaan ringan, menanyai kesibukan para jamaah —ada mahasiswa yang baru pulang kuliah, pekerja kantoran yang menepi dari rutinitas, dan pasangan muda-mudi yang disebut-sebut “calon”.

Di sela obrolan, Mas Amin memperkenalkan talenta yang tengah check sound: grup musik Suar Marabahaya. Sempat disinggung pula lapak kecil di sisi kanan panggung, Buletin Maiyah Jawa Timur. Tumpukan kertas dan tinta sederhana menjadi saksi, masih ada yang setia menulis dengan tangan dan hati.

Ketika Suar Marabahaya mulai memainkan lagu “Satu” dari Dewa 19, suasana senyap sesaat. Disusul suara serak dan juga cukup kuat untuk memekakkan gendang telinga.

“Aku ini adalah dirimu. Cinta ini adalah cintamu…ouoo…”

Kompor gas!” seru seseorang dari barisan jamaah, disambut tawa kecil yang hangat. Di Maiyah, musik bukan hanya sebagai jeda; ia bagian dari zikir yang berubah bentuk.

Di tengah suasana hangat dan penuh tawa, malam pun mulai beranjak.

Menjadi Ahli

Moderator kembali menyapa jamaah dan mempersilakan beberapa perwakilan untuk berbagi pandangan.

Mas Indra—dengan kopyah merah darah—memperkenalkan Suar Marabahaya sebagai musik yang lahir dari keresahan dan semangat pergerakan. Baginya, orisinalitas lebih penting daripada ketenaran; kejujuran lebih utama daripada tepuk tangan. “Bahagia itu sederhana,” ungkapnya, “asal kita tahu kapan harus berhenti merasa kurang.”

Di sisi lain, Mas Dafa, mahasiswa filsafat UINSA, bercerita bagaimana ia menemukan makna belajar setelah lama mengikuti pemikiran Cak Nun. Ia sempat merasa salah jurusan, tapi waktu menuntunnya pada kesadaran: memahami hidup bukan perkara memilih bidang, melainkan menafsirkan kenyataan.

Dari obrolan ringan tentang keahlian &  bagaimana seseorang disebut ahli. Mas Indra menyebut ada dua jenis kapabilitas—teknis dan moral. Orang yang ahli secara teknis, tapi gagal secara moral, tetap akan menimbulkan kerusakan.

Mas Dafa menambahkan, keahlian sejati seharusnya membawa kemampuan beradaptasi dalam segala medan. Seorang petani sejati bisa bertahan dalam kemarau atau hujan, sebab yang ia kuasai bukan hanya tanah, tapi cara hidup yang selaras dengan alam.

Dua cerita itu saling melengkapi. Menjadi ahli bukan soal keterampilan semata, melainkan kesadaran untuk tetap di tempat yang tepat —menjaga moral agar keahlian tak berubah menjadi kerusakan.

Bahasa Menyapa

Menjelang pukul delapan malam, perbincangan beralih pada tema: fantadziris-sa’ah.
Moderator mengajak jamaah menurunkan makna besar itu ke dalam kehidupan sehari-hari. “Bagaimana rasanya bekerja di bidang yang tidak sesuai minat?” tanyanya. “Kadang rasanya ingin cepat pulang saja, bukan?”

Seorang jamaah, Mas Angga, kemudian menanggapi. “Tergantung bagaimana kita menyikapinya,” ujarnya. “Tidak semua yang kita jalani selalu sesuai minat, tapi ada banyak cara untuk tetap menikmati. Di kota sebesar Surabaya ini, media refreshing tersedia banyak sekali yang bisa digunakan untuk memperbarui semangat.”

Moderator lalu menunjuk seorang jamaah berkopyah merah putih, Mas Anggi. Ia datang bersama enam saudara dadakan—teman-teman yang dikenalnya lewat Maiyah. “Saya ke sini diperjalankan Allah,” guraunya.

Kemudian giliran Mbak Wanda, mahasiswi Bahasa Inggris, yang berbagi kisahnya. Ia menceritakan perjalanan menempuh TOEFL, belajar writing, speaking, listening—semuanya dijalani dengan rasa syukur. “Saya suka bahasa sejak kecil,” ujarnya, “karena lewat kata, saya bisa mengenali dunia.” Ia menutup dengan ajakan lembut: agar siapa pun tak berhenti belajar, sebab ilmu adalah bentuk paling nyata dari amanah.

Lalu malam pun beralih. Lagu kedua malam itu berjudul “Ritus”, karya Suar Marabahaya. Nadanya sakral, lirih, bunyi-bunyian lokal berpadu dengan nuansa Timur Tengah.

Kian hari, kian waktu, senja berlalu senja datang.
Api kehidupan, api dan nafas yang kau emban; fajar tlah berubah, tak seperti dulu…”

Disusul pembawaan lagu “Tak Ada yang Abadi” dari Noah. Moderator pun menanggapi penampilan dengan senyum bangga. “Luar biasa,” katanya, “silakan di-spill akun IG-nya, biar makin banyak yang mengenal karyanya.”

Program Ilahi

Malam kian memuncak, jam menunjukkan pukul sembilan. Forum pun mulai memasuki inti. Turut membersamai Mas Sabrang MDP, ilmuwan metafisik yang kerap menjembatani sains dan kesadaran spiritual. Mas Amin Tarjo, pegiat BangbangWetan. Kemudian Mas Tridjoyo, seorang agamawan. Tiga sosok expertise di bidangnya.

Mas Tridjoyo mengutip hadits yang menjadi tema besar malam itu:

Idza wusid al-amru ila ghairi ahlihi, fantadziris-sa’ah
“Apabila sebuah urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari)

Dari satu kalimat itu, Mas Tri menyoroti dua kata kunci: urusan dan ahli.Setiap urusan harus diserahkan kepada ahlinya. Prinsip sederhana ini berlaku di semua bidang kehidupan.

Ia mencontohkan, “Kalau urusan sound diserahkan kepada orang yang belum pernah pasang kabel, pasti hasilnya kacau — suara bisa feedback, noise, atau malah sunyi.” Jamaah tertawa kecil.

Ia menyinggung pemilihan umum—bagaimana jabatan kadang dipegang oleh orang yang tak pernah belajar membuat aturan bersama, tapi diberi kuasa untuk menyusun undang-undang. Ketika ketidakcakapan meluas menjadi pola sosial, lahirlah sistem yang pincang. Pemerintahan berubah menjadi panggung tanpa naskah; lembaga kehilangan fungsi, masyarakat kehilangan arah.

Seorang jamaah di pojok berseloroh, menunjuk arah selatan: “Di seberang sana, ada markas pemerintahan!” — Gedung DPR. Tawa pun pecah, tapi Mas Tri menanggapi dengan tenang: “Maka tugas kita sebagai rakyat adalah belajar menyerahkan urusan kepada yang tepat — kepada yang ahli dalam kapasitasnya.”

Giliran Mas Amin Tarjo ber-uneg-uneg. “Saya ini juga bingung,” katanya jujur, “menempatkan apa itu ahli dan keahlian.”

Ia bercerita, pernah bekerja sebagai HRD di rental mobil, padahal tidak bisa menyetir—ironisnya, justru ia yang mengetes ratusan sopir. “Itu artinya,” lanjutnya sambil tersenyum, “kadang sesuatu dipercayakan ke orang yang tidak kompeten. Tapi nyatanya, ya bisa jalan juga.”
Pertanyaannya: apakah itu salah, atau justru bagian dari proses belajar?

Mas Sabrang pun angkat bicara, “Jika kita mendefinisikan keahlian hanya dari asal instansi, sekolah, atau bidang kerja, berarti kita mengurungnya di ruang administrasi manusia. Padahal, keahlian sejati adalah kemampuan untuk mengubah potensi menjadi aktualisasi—mengubah mimpi menjadi kenyataan, mengubah masalah menjadi solusi.

Ia kemudian menjawab kegelisahan Mas Amin, “Seorang HRD tak harus bisa menyetir untuk menilai sopir, seperti halnya showroom yang memilih sales cewek cantik untuk menggaet calon pembeli, yang notabene kebanyakan pria akan tertarik untuk melirik dan akhirnya membeli produk yang ditawarkan. Jamaah pun terkekeh.

Mas Sabrang lalu menyinggung Job Market, alur vokasi, dan pendidikan yang sering kali lebih mementingkan gengsi daripada manfaat. “Banyak orangtua lebih senang anaknya punya jurusan yang bergengsi, daripada menuntun potensi unik yang Tuhan titipkan,” ujarnya.

Beliau menambahkan contoh ekstrem: orang bertubuh pendek tentu sulit menjadi pemain basket. “Bukan untuk mendiskreditkan,” katanya, “tapi untuk menakar batas potensi yang telah ditetapkan sistem alam.” Dalam pandangan teologis, batasan itu bukan hukuman, melainkan parameter Ilahi agar manusia tahu ruang kerjanya.

“Betapa sering potensi itu tidak dihidupkan. Kita sibuk membandingkan diri dengan yang lebih besar, lalu lupa menunaikan peran yang sebenarnya sudah diprogram untuk kita. Ketika gagal, kita mencari kambing hitam di luar diri—seolah dunia berutang pada nasib kita.”

Mas Sabrang memberi analogi, “Ada orang Jepang hidupnya hanya melipat kertas. Suatu hari NASA butuh orang yang bisa melipat bahan satelit sekecil mungkin (Miura fold), agar bisa mengembang di luar angkasa. Ilmunya yang tampak sepele jadi jembatan bagi teknologi.” Begitulah potensi manusia: tampak kecil, tapi menentukan sistem besar.

Mas Sabrang menutup dengan nada reflektif. “Menjadi ahli itu tidak mudah. Kalau kamu cepat menyimpulkan seseorang bukan ahli, tanyakan dulu: apakah kamu cukup ahli untuk menilai?”

Suar Marabahaya menutup jeda dengan lagu “Elang, Laut, dan Mercusuar”—karya teatrikal yang memadukan gitar, piano, dan vokal nyentrik Mas Josua. 

Mas Amin sontak meminta satu lagu tambahan: “Serana” dari band For Revenge. Jamaah bersorak— energi memuncak lagi.

Kalibrasi Amanah

Usai pembawaan lagu, Mas Amin tersenyum, “Istimewa,” kagumnya . Lalu suaranya menurun, menyatu dengan alunan Ayat Kursi yang dibacakan bersama:

“Allah, tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya…”

Mas Amin menutup dengan kalimat sederhana, “Segala ilmu di dunia ini adalah milik Allah semata.”

Mas Tridjoyo menambahkan dengan suara pelan, “Aku mendapat banyak ilmu malam ini. Lillāhi mā fis-samāwāti wa mā fil-ardh—milik Allah segala yang ada di langit dan di bumi. Artinya, semua hukum, semua pengetahuan, adalah anugerah dan rahmat dari Allah SWT. Kita hanya pengelola kecil dalam sistem besar-Nya.”

Ia menatap jamaah, lalu melanjutkan,
“Kadang kita belajar agama di masjid, di TPA, di warung kopi. Semua ruang itu sah, karena semua adalah laboratorium kehidupan. Semakin luas interaksi kita, semakin banyak data yang Allah izinkan untuk kita baca. Ilmu yang terkurung di ruang ibadah tanpa menyentuh realitas sosial, kehilangan salah satu dimensinya: kemanusiaan.”

Mas Tri kemudian melanjutkan dengan hadits qudsi: Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu
“Siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”

Mengenal diri, berarti memahami maksud Allah atas penciptaan diri. Setiap orang dititipi peran: guru, buruh, seniman, petani, penyair. Siapa pun yang menjalankan perannya dengan sungguh-sungguh telah menunaikan bagian dari ibadah.

Beliau menutup dengan contoh sederhana: seorang guru Bahasa Inggris yang setia mendampingi murid-muridnya hingga mampu memberi manfaat bagi sesama, meski hidupnya tetap sederhana. Barokahnya diukur bukan dari pangkat, melainkan dari manfaat”

Moderator pun menegaskan, “Indikator seorang ahli adalah ketika kehadirannya membawa manfaat.”

Sinkronisasi Kesadaran

Malam beranjak ke sesi tanya jawab; satu per satu jamaah berbagi kegelisahan.

Mas Diky mengangkat mikrofon, disusul Mas Helmi di sampingnya.
“Generalis atau spesialis?” tanya mereka hampir bersamaan. “Apakah pilihan itu harus disesuaikan dengan karakter seseorang?”

Mas Sabrang tersenyum. “Generalis itu potensial tapi terpecah; spesialis tajam tapi terbatas. Keduanya sah, selama tahu jalur yang Allah programkan untuknya.

“Napoleon pernah bilang,” lanjut Mas Sabrang, “kalau sumber daya terbatas, maksimalkan strategi. Dalam keterbatasan pun ada peluang aktualisasi.

Mas Alif menimpali, “Tapi Mbah Nun itu seperti supergeneralis, Mas. Menguasai banyak hal.”
Sabrang tertawa kecil. “Ya, tapi zaman sudah berubah. Dulu sains cuma empat cabang. Sekarang lebih dari dua ratus. Menguasai banyak hal sekarang nyaris mustahil. Maka yang penting bukan seberapa banyak kita tahu, tapi seberapa dalam kita menghidupi apa yang kita tahu.”

Hening sejenak. Lalu dari barisan belakang, suara Mas Roy terdengar:
“Kalau begitu, bagaimana cara panjenengan berdua mendekatkan diri kepada Allah?”

Mas Tri menunduk sebentar, lalu menjawab lembut, “Saya lebih sering merasa diselimuti rahmat, bukan diawasi. Allah berfirman, Fabimā rahmatin minallāhi linta lahum—karena rahmat Allah, engkau menjadi lembut. Maka yang saya rasakan bukan takut, tapi syukur. Karena rahmat itulah kita belajar lembut, bahkan kepada kehidupan yang keras.”

Mas Sabrang menimpali, “Saya tidak takut dalam arti ancaman, tapi sungkan—karena tahu skala diri. Malaikat patuh karena paham, bukan karena bodoh. Hewan patuh karena tidak tahu. Manusia di tengah-tengah: kadang tahu, kadang lupa. Semakin kita tahu kebesaran pengetahuan Allah, harusnya akan semakin menuntun pada ketakwaan.

Mas Sirat mengangkat tangan, “Kalau seseorang punya cita-cita besar tapi sistemnya tidak mendukung, apa yang harus dilakukan?”
“Struktur yang kuat bisa membuat agen lemah,” jawab Mas Sabrang, “tapi struktur yang lemah menumbuhkan agen kuat. Saat sistem tak memihak, manusia dipaksa mengaktifkan kecerdasan adaptifnya. Itulah cara Tuhan melatih ketahanan.”

Mas Santoso menimpali, “Kalau sistem menuntut kita curang supaya bisa bertahan?”
“Kalau ikut bermain,” kata Mas Sabrang, “sadari dulu bahwa permainan itu tetap salah. Tapi jangan berhenti berpikir bagaimana memperbaikinya. Karena berjuang tanpa risiko itu utopia. Dalam dunia yang keruh, kebenaran butuh keberanian untuk tetap jernih.”

Pertanyaan berikut datang dari Mas Aldy, suaranya lirih tapi jelas, “Kalau kita tak tahu sama sekali tentang suatu ilmu, bagaimana cara menyaringnya?”

Mas Sabrang tersenyum lagi. “Belajarlah apa pun yang bisa dipelajari. Kerjakan apa pun yang bisa dikerjakan. Setiap kesempatan belajar adalah perintah sistem. Beliau menegaskan, “Ilmu dari luar harus diolah dulu di teras akal sebelum masuk ke kamar hati. Belajarlah dari orang, karena lewat pengalaman orang lain, kita bisa menapaki jalan yang mungkin tak sempat kita lalui.”

Sebelum menutup forum. Mas Sabrang kembali mengingatkan, “Ketika satu manusia berhenti belajar, berhenti memperbaiki diri, atau berhenti mencari makna dari peran yang telah diinstal sejak awal penciptaan—maka sistem kecil dalam semesta ikut kehilangan ritmenya.

Fantadziris sa’ah—tunggulah kehancurannya—bukanlah ancaman akhir zaman semata, tapi juga pertanda ketidakseimbangan. Ia adalah bentuk kehancuran yang tumbuh diam-diam: ketika tanggung jawab didelegasikan tanpa cinta, ilmu tanpa pengamalan, dan hidup tanpa muhasabah.

Tepuk tangan jamaah pun mengakhiri forum yang singkat ini. Malam pun mulai mereda. Forum ditutup dengan Indal Qiyam pada pukul setengah 1 dini hari. Di sela riuh lalu lintas kota, gema shalawat nyaring terdengar.

Doa Penutup

Maiyah BangbangWetan tak berhenti sebagai forum ilmu—ia adalah laku kesadaran. Tempat manusia singgah sejenak untuk memperbarui dirinya: meng-upgrade firmware batin, menyusun ulang kode moral dan spiritual yang kerap tergeser oleh kesibukan.

Di sini, kesadaran diperbarui.
Setiap orang berusaha menulis kembali baris-baris kecil dari program Ilahi yang sejak awal tertanam dalam diri. Sebab, sebagaimana semesta memiliki orbitnya, setiap jiwa pun memiliki lintasan keseimbangannya sendiri.

Satu per satu jamaah beranjak dari taman terbuka Pos Bloc. Langkah mereka ringan, seperti baru selesai menempuh perjalanan panjang dalam diri.

Di langit Surabaya, doa & syukur dipanjatkan.
Maturnuwun,” ujar moderator lembut, “atas setiap ilmu yang malam ini dipantulkan kembali ke langit.”


Redaksi BangbangWetan
Tim redaksi yang bertugas mendokumentasikan, merangkai, dan menyebarluaskan pemikiran, peristiwa, serta refleksi dari kegiatan BangbangWetan sebagai bagian dari jaringan Maiyah.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top