Yang Utama dari Maiyah adalah Nikmat Keistiqamahan dan Persaudaraan Tanpa Tepi

Selayang Pandang

Puluhan tahun lalu, Nurcholish Madjid saat di Surabaya mengatakan suatu hal yang bikin saya selalu teringat: “etis itu bukan hanya ke orang lain, tapi juga ke diri sendiri”. Ada banyak tafsiran tentangnya, tapi bagi saya etis ke diri sendiri antara lain: bekerja di bidang yang disukai, menikah dengan orang yang dicintai, jujur atau tidak palsu tentang diri sendiri (baca: pencitraan).

Sebelum dikirim ke redaksi, tulisan ini telah dibaca istri saya terlebih dahulu. Katanya, tulisan ini seperti ditulis oleh orang baik. Tentu saya merasa tidak etis dan tidak lega mendengarnya. Bukan karena tulisannya, tetapi karena diri saya tidak persis seperti yang dikatakan dia tentang penulis. Maka di sini saya perlu utarakan, bahwa saya bukan orang baik. Saya hidup urakan dan ditolak di mana-mana. Jadi, kalau saya menyebut bahwa saya sholat, tolong jangan langsung diasumsikan itu sudah mencerminkan siapa saya.

Perjalanan Ketakutan

Pernah suatu masa, ketika saya baru mulai belajar agama dengan agak serius, saya merasa gentar setiap kali hendak membaca Surah Al-Ikhlas. Baik saat sembahyang maupun ketika waktu senggang, surah itu terasa berat di lidah. Bukan karena mistis, tetapi karena ada ketakutan yang saya bangun sendiri. Saya khawatir, bila benar-benar mengikrarkan ikhlas, maka Allah akan seketika mengambil seluruhnya yang Dia titipkan dalam hidup saya. Dalam pikiran saya waktu itu, mengucapkan ayat tentang ikhlas sama artinya dengan sebuah janji yang konsekuensinya harus ditanggung penuh. Dan saya takut janji itu menuntut sesuatu yang tidak mampu saya jalankan.

Namun, hidup berjalan sesuai garis-Nya. Cepat atau lambat, satu per satu bagian dari hidup ini diambil kembali oleh Pemiliknya. Termasuk ibu saya. Kehilangan itu semula saya anggap sebagai puncak ketakutan terbesar saya. Tetapi ketika benar-benar terjadi, saya justru merasa hampa. Kosong… seolah saya tidak lagi punya alasan untuk takut terhadap apa pun di masa depan. Dari situ saya mulai sadar, sejak awal memang tidak ada satu pun di dunia ini yang benar-benar milik saya. Semuanya hanya titipan. Bahkan saya sendiri, kelak akan kembali diambil oleh yang Maha Punya. Maka, takut atau berani, semuanya akan tetap terjadi sebagaimana kehendak-Nya. Kesadaran itu membuat saya kemudian berani membaca Surah Al-Ikhlas. Meski begitu, rasa takut tidak serta-merta hilang. Ia hanya berpindah, menjelma dalam bentuk lain, dengan nuansa yang berbeda.

Salah satunya adalah di suatu ketika saya menonton sebuah video amatir di YouTube. Dalam video itu Mbah Nun tampak berbicara di hadapan jamaah dengan penuh haru, bahkan menangis. Beliau menjelaskan mengapa ia rela berkeliling, dari satu kota ke kota lain, dari satu simpul ke simpul lain, tanpa henti. Alasannya sederhana sekaligus di luar dugaan: beliau berharap dari lingkar-lingkar Maiyah akan lahir kekasih-kekasih Allah, sehingga bila ada yang menyakiti mereka, Allah tidak tega dan akan turun tangan menjaga mereka secara langsung.

Saya hanya menonton video itu sekali. Tidak sanggup untuk mengulangnya. Ketulusan yang begitu terasa justru menyiksa batin saya. Tangisan Mbah Nun seolah menembus lapisan hati yang terdalam. Seolah-olah saya merasakan kepedihan di saat itu. Dan saya takut untuk melihatnya lagi. Di sisi lain, saya takut, tujuan beliau akan menjadikan saya pamrih untuk ber-Maiyah. Sejak itu saya memutuskan, sebisa mungkin bila tidak berhalangan, saya akan berusaha hadir di lingkar Sinau Bareng tanpa niat yang macam-macam. Mau menjadi kekasih Allah atau tidak, saya tidak peduli. Yang terpenting adalah saya senang melakukannya bersama orang-orang, tanpa pamrih, tanpa syarat.

Sinau Bareng

Saya beruntung bisa hadir di banyak simpul Maiyah. Dimanapun saya singgah, selalu diterima dengan hangat. Tidak ada yang peduli saya berasal dari mana, apa agama saya, apa pekerjaan saya, berapa harta yang saya punya, atau apa suku saya. Jamaah Maiyah selalu memberi ruang untuk saya duduk bersama, melingkar hingga subuh.

Saya pernah berbincang berjam-jam setelah acara dengan seorang jamaah yang baru saya kenal. Di tepi lapangan, sambil ngopi, kami bahkan sampai menceritakan keluarga masing-masing dengan dalam. Ada juga momen ketika setelah Mocopat Syafaat, saya menyaksikan jamaah yang baru berkenalan rela mengantarkan pulang jamaah lain yang tidak punya kendaraan. Hal-hal kecil itu mungkin tampak biasa, tetapi bagi saya, itulah wajah asli persaudaraan di Maiyah. Sebuah persaudaraan yang tumbuh tanpa syarat dan kalkulasi.

Kesan abadi saya terhadap lingkaran Maiyah memang itu: persaudaraan. Ia tidak diciptakan oleh doktrin, melainkan mengalir dari laku bersama. Persaudaraan yang tidak berhenti pada kata, tetapi menjelma menjadi tindakan sehari-hari.

Beberapa sahabat saya semasa kuliah—yang pertama kali mengenalkan dan membersamai saya dalam ber-Maiyah—hingga kini tetap menjaga persaudaraan itu. Walau kami terpisah jarak dan kesibukan, rasa kebersamaan tidak pernah luntur. Kami masih merasa satu ikatan yang tidak bisa diputuskan waktu. Seperti pernah dikatakan Mas Sabrang, “Di Maiyah, persaudaraan itu tanpa tepi.” Dan memang begitulah adanya.

Uniknya, persaudaraan di Maiyah tidak berhenti pada pertemuan sesaat. Ia terus berlanjut, dipelihara dari waktu ke waktu. Teringat Syekh Muhammad Nursamad Kamba pernah mengatakan bahwa kegiatan ber-Maiyah bukan sekadar agenda, melainkan sebuah jalan hidup (The Way of Life). Dengan menjaga lingkar Maiyah, seperti menjaga nyala lilin kecil yang harus terus dipelihara. Simpul-simpul makin banyak, dan tak sedikit dari mereka yang telah berusia panjang. Kalau bukan karena istiqamah-nya para jamaah dan penggiat persaudaraan, tidak mungkin bisa terjadi demikian.

Kalau bisa diringkas, dua tema ini juga sebetulnya sangat tercermin dari sikap hidup yang tampak dari seorang Mbah Nun—seperti perkataan Iman Budhi Santosa saat mengucapkan Milad Mbah Nun beberapa tahun yang lalu. Selain itu, Mbah Nun kemudian pernah menyampaikan: “kamu jangan cuma berbuat baik, tapi kamu juga harus bisa menikmati dalam berbuat baik”. Dan saya melihat penggiat dan jamaah Maiyah betul-betul menikmatinya.

Bangbang Wetan

Kini Allah memperjalankan saya tinggal di Surabaya. Kota yang sibuk sekaligus penuh kejutan, di mana manusia beragam bertemu dengan caranya masing-masing. Kota yang mengajarkan bahwa perbedaan bukan untuk ditakuti, tapi untuk dipelajari dengan sabar. Di sini, tidak sulit menemukan orang-orang yang terbuka, meski juga tak kalah gampang menemukan orang-orang yang tertutup. Satu waktu bisa sangat pecicilan dengan lingkungannya, tapi jadi kaku kalau ketemu orang baru. Teringat fitur story Instagram yang diatur close friends.

Kemudian saya belajar untuk tidak buru-buru menilai. Karena kota ini, dengan segala riuh-rendahnya, mengajari saya satu hal sederhana bahwa manusia memang beragam dan sedang mencari cara untuk tetap waras dan tetap hidup, apalagi sebagai WNI.

Syukurnya, di sini ada Bangbang Wetan. Salah satu simpul Maiyah yang ngetop. Mendengar namanya saja membuat hati bergetar. Sebab nama itu terabadikan dalam salah satu nomor fenomenal dan sarat “mistik” oleh KiaiKanjeng.

Bangbang Wetan ini baru saja menginjak usia 19 tahun. Angka yang bukan sekadar hitungan tahun. “Satu” bisa dimaknai sebagai asal mula, sebagai Sang Maha Tunggal, sumber dari segala kehidupan. Sedangkan “sembilan” adalah simbol kesempurnaan, puncak-puncak pendakian, sebagaimana Wali Songo yang menjadi penanda cahaya Islam di tanah Jawa. Maka, 19 bisa dipahami sebagai titik temu antara asal dan kesempurnaan—sebuah simpul yang mempertemukan awal dan akhir, sumber dan tujuan. Tauhid—nyawiji, Manunggaling Kawulo Gusti.

“Di Sinau Bareng, kita sudah tahu bahwa pada hidup tidak ada barang langsung jadi. Segala sesuatunya harus ditempuh dengan proses yang diusahakan terus-menerus. Termasuk dalam ketauhidan. Dalam memproses ketauhidan ke kehidupan sehari-hari, tercermin pada laku yang terus memperteguh keyakinannya tersebut. Itulah yang saya sebut istiqamah. Dari namanya saja, Sinau Bareng sudah sangat jelas menyatakan dirinya adalah ruang bersama (bareng). Kalau bukan karena rasa persaudaraan, tidak mungkin jamaah bisa saling membersamai dalam kurun waktu yang panjang.”

Namun, pemaknaan ini tentu bebas bagi siapa saja. Ada yang akan melihatnya sebagai simbol spiritual, ada yang menafsirkannya dengan cara yang lebih sosial, atau bahkan sekadar angka umur. Tidak masalah, karena pada akhirnya angka hanyalah cermin dari cara pandang masing-masing manusia.

Yang terpenting, usia 19 tahun ini adalah penanda. Penanda bahwa sebuah perjalanan sudah cukup panjang untuk dikenang, tapi juga masih sangat muda untuk terus tumbuh. Ia adalah usia liminal—belum sepenuhnya matang, tetapi sudah terlalu jauh untuk disebut kanak-kanak. Usia yang penuh energi, penuh gejolak, penuh kemungkinan. Dengan demikian, yang utama dari Maiyah menurut saya bukanlah pengetahuan semata, bukan pula sekadar forum diskusi atau hiburan. Yang utama adalah bisa menikmati istiqamah dan persaudaraan yang tanpa tepi. Tidakkah demikian ciri anak Maiyah? “Bukan identitas yang mencirikannya, bukan logo, bukan baju, melainkan diri yang teguh istiqamah, dan diri yang membangun persaudaraan kepada siapa saja.”


Surabaya, 3 Oktober 2025

M. Yudha Iasa Ferrandy. Seorang Pembelajar di Maiyah.

Narahubung Media:
Kontak BangbangWetan (0813-9118-2006)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top