Markesot tidak banyak muncul sekarang. Orang-orang mengira ia sudah usai. Padahal ia hanya sedang memilih diam, sembari mengamati anak cucu bangsa ini yang gegap gempita menyambut Merdeka Belajar—sebuah program dari pemerintahan yang lalu. Katanya sih pembebasan, padahal bisa jadi jebakan yang halus dan menyakitkan.
“Merdeka itu bukan sekadar bebas. Tapi bebas yang bermartabat,” gumamnya suatu malam. Ia menyebutkan itu sambil ngudud lintingan, matanya menatap langit yang muram seperti wajah kampus-kampus kita hari ini.
Mahasiswa bebas mengambil mata kuliah lintas prodi, lintas kampus, bahkan lintas negara. Dosen diajak jadi manajer proyek ketimbang pendidik sejati. Dan di tengah semarak “kebebasan”, yang mati justru kepakaran. Ilmu bukan lagi laku tirakat yang ditempuh dengan sabar dan dalam. Kata Tom Nichols, The Death of Expertise, bukan hanya soal orang bodoh merasa tahu, tapi juga soal orang terpelajar yang tak lagi merasa perlu jadi ahli. Yang penting terlihat kritis—meskipun isi argumennya kosong melompong.
“Lha wong kritis kok ngutipnya dari TikTok,” keluh Markesot.

Kampus bukan lagi tempat menempa akal budi. Ia hanya jadi loket karier yang memproduksi pelamar kerja. Bahkan tugas akademik dijalankan sambil nyambi jadi selebgram edukasi, reseller skincare, atau makelar beasiswa. Banyak mahasiswa yang berlomba ke luar negeri lewat program pertukaran, dengan semangat kemrungsung. Tak sedikit yang menyandang jabatan penting di himpunan mahasiswa, lalu ingin tetap memimpin dari luar negeri—remote dari jarak ribuan kilometer, sambil piknik di negeri orang.
Markesot diam. Tapi matanya berbicara, seakan bertanya: “Apa gunanya jadi pemimpin kalau tak paham tempo dan tata?”
Begitu juga soal berguru. Kata Markesot, guru sejati tidak pernah menjanjikan kemewahan. Yang dijanjikan adalah proses. Tetapi hari ini banyak yang berguru hanya untuk menjadikan nama gurunya sebagai batu loncatan. Mereka melangkahi, bahkan melupakan. Unggah-ungguh pun tinggal kenangan. Tata krama dalam nyantrik sirna diganti ambisi.
Tatanan Ki Hajar Dewantara luntur: Ing ngarsa sung tuladha tergantikan oleh ing ngarsa rebut panggung; ing madya mangun karsa diubah jadi ing madya cari cuan; tut wuri handayani digantikan tut wuri blokir konten saingan.

Semua ingin menjadi Belanda. Bukan dalam kolonialisme politik, tapi dalam cara pandang. “Segalanya bisa ditaklukkan,” kata Markesot sambil membuka lembaran sejarah alk is nederlandsch was, tulisan klasik tentang bagaimana imperialisme tidak hanya merampas tanah, tapi juga cara berpikir.
Sementara itu, dosen—yang mestinya menjadi sumber ilmu dan pembimbing akal sehat—malah terjebak dalam labirin administratif. Surat-menyurat, proposal hibah, akreditasi, dan proyek luar kampus membuat mereka lupa bahwa mahasiswa adalah manusia, bukan file di folder e-learning.
Di titik ini, pemerintah malah menyalahkan kampus. Katanya, orang terlalu pintar justru nggak jadi apa-apa. Katanya, perguruan tinggi tak mampu meng-hilirisasi ilmu. Tapi siapa yang menciptakan situasi itu? Dunia usaha dan pemerintah sendiri yang menjadikan kampus sebagai produsen tenaga kerja murah, bukan penyemai akal sehat bangsa.
Indonesia sedang kebingungan. Pendidikan tinggi diarahkan hanya untuk mencetak orang “siap kerja”, bukan orang bijak. Padahal, dalam QS Al-Mujadalah [58]: 11, Allah menegaskan: “Allah akan mengangkat dan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan memiliki ilmu pengetahuan.” Ilmu pengetahuan di sini bukan hanya tentang pengetahuan agama, dan tentu bukan sekadar kemampuan teknis, tapi kebijaksanaan—‘ilm yang mengakar dalam akhlak, seperti al-hikmah yang selalu disandingkan dengan kebaikan dalam Al-Quran yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Kini, negara juga mulai menarik diri dari tanggung jawab. PTN didorong menjadi Badan Hukum, diswastanisasi pelan-pelan. Pendidikan tak lagi urusan wajib negara, tapi jadi jasa yang dijual. PTN menjadi mesin komersial, menggerus keberlangsungan kampus-kampus swasta yang yayasannya megap-megap. Semua disulap menjadi bisnis pendidikan yang siapa cepat dia dapat, siapa miskin minggir.
Markesot menghela napas panjang. “Ilmu kok dadi komoditas…,” bisiknya.
Filosofi Jawa sejak dulu mengajarkan ilmu iku kalakone kanthi laku. Ilmu tidak hanya didapat dari buku, tetapi melalui laku hidup yang tertib, tirakat, dan hormat pada proses. Ketika proses itu dihancurkan oleh ambisi, maka yang tersisa hanyalah kompetisi kosong dan gelar tanpa jiwa.
Markesot tidak hadir di seminar. Tidak pula mengisi webinar. Tapi jika kau membuka mata dan hati, kau akan menemukannya di sudut kampus, di pojok warung kopi, atau di benak mahasiswa yang masih percaya bahwa belajar adalah jalan panjang menuju kebijaksanaan, bukan jalan pintas menuju kemapanan semu.
Karena seperti kata orang tua dulu, “Wani ngalah luhur wekasane.” Yang merendah karena ilmu, akan ditinggikan karena akal budi. Yang merendahkan ilmu demi nama, jabatan, dan pamor, kelak akan ditinggalkan sejarah.

Setelah terbangun dari mimpi pada tidurnya, penulis tersadar. Ternyata ia baru saja keluar dari alam bawah sadar setelah membaca Siapa Sebenarnya Markesot? Karya Mbah Nun pada 2019 lampau pasca mengisi borang-borang di Beban Kinerja Dosen. Saatnya kembali ke dunia nyata.

Probo Darono Yakti
Pamong Peradaban yang Nyambi Dosen dan Kadang Menyamar Jadi Mahasiswa Abadi. Bisa Disapa di FISIP UNAIR dan Instagram @masprob
Narahubung Media:
Kontak BangbangWetan (0813-9118-2006)



