Apa kabar kawan? sudah berlebaran? Sudahkah merasakan udara damai pedesaan setelah sekian lama paru-paru menghirup udara kota yang penuh hiruk-pikuk duniawi? Ataukah tahun ini memilih menyelesaikan puasa di kota dan baru pulang ke desa setelah lebaran? Atau bahkan, tahun ini tidak ada kata mudik?
Kata “mudik” seolah menjadi sesuatu yang mustahil dihilangkan dari para perantau. Mahasiswa, pekerja, dan buruh yang menggantungkan hidupnya di kota pasti akan merindukan kampung halaman. Akan terasa gundah gulana jika lantunan takbir Idulfitri hanya terdengar dari kamar kos tanpa kehangatan keluarga.
Mudik telah menjadi tradisi yang melekat dalam masyarakat Indonesia, dan setiap orang memiliki motifnya masing-masing. Ada yang ingin bertemu kembali dengan keluarga di desa, ada yang sekadar bersilaturahmi dengan tetangga meskipun keluarga sudah tiada, ada pula yang ingin menunjukkan keberhasilannya di kota kepada sanak saudara. Tak sedikit juga yang menjadikan mudik sebagai formalitas belaka—”Idulfitri tanpa mudik, rasanya hambar.”
Namun, apakah mudik memiliki makna filosofis? Jika ditelusuri secara historis, ceritanya akan panjang dan berbeda di setiap daerah. Namun, kita bisa memulai dengan memahami makna mudik sebagai implementasi dari kalimat Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Mbah Nun pernah mengatakan bahwa perjalanan manusia itu melingkar—dari Allah, lalu kembali kepada Allah. Ibarat seseorang yang ingin ke Surabaya padahal sudah berada di Surabaya, ia tetap harus berputar dulu, mungkin melewati Gresik atau Sidoarjo. Begitu pula perjalanan hidup kita; sejauh apa pun kita melangkah, sesukses apa pun pencapaian kita, sejatinya kita semakin mendekat ke arah kepulangan sejati: kembali kepada Allah.
Mudik dan Idulfitri mengajarkan kita makna “kembali.” Kembali tidak hanya bermakna pulang ke desa, tetapi juga kembali kepada diri yang lebih fitri. Dalam hiruk-pikuk kehidupan kota yang penuh dengan perjuangan duniawi, Idulfitri mengajak kita untuk membersihkan diri, menyucikan hati dari berbagai penyakit yang menodai fitrah kita. Kullu mauludin yuuladu ‘alal fitroh—setiap manusia lahir dalam keadaan suci. Itulah yang ingin kita kembalikan di hari kemenangan ini.
Namun, mencapai kesucian sejati tentu bukan perkara mudah. Sebanyak apa pun kita meminta maaf kepada sesama, dosa kepada Tuhan tetap menjadi tanggung jawab yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat. Maka, sebanyak apa pun maaf yang kita tebar, jangan merasa diri ini sudah benar-benar bersih. Hanya Allah yang Mahasuci dan Mahabenar. Idulfitri hendaknya menjadi momentum untuk berusaha menjadi lebih baik, dengan tetap bersikap tawadhu dan tidak merasa paling benar.
Selain menjadi ajang refleksi diri, mudik juga mengingatkan kita tentang kebahagiaan yang sering kali terlupakan. Di kota, kebahagiaan seolah menjadi sesuatu yang sulit dan mahal. Standar kebahagiaan pun semakin tinggi. Namun, di desa, kita diajak untuk kembali menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana. Ingatkah ketika kecil, kita mencari ikan dan mendapatkan dua ekor saja sudah membuat hati riang? Atau ketika diterima di kampus impian, ibu langsung memasak banyak dan membagikannya kepada tetangga? Kebahagiaan yang demikian tulus dan sederhana, yang sering kali dianggap remeh oleh logika kehidupan kota.
Momentum mudik juga memiliki aspek sosial yang tak kalah penting. Bagi para perantau, kota sering kali terasa seperti medan perang yang penuh dengan persaingan hidup. Kehidupan yang individualistis membuat interaksi sosial semakin berjarak. Di desa, kita kembali diingatkan bahwa sejak kecil kita telah diajarkan pentingnya bersosialisasi oleh orang tua dan lingkungan sekitar. Mudik menjadi ajang untuk menyegarkan kembali nilai-nilai sosial yang barangkali mulai luntur setelah sekian lama hidup di kota. Sehingga, yang kita bawa pulang dari mudik tidak hanya pakaian baru, tetapi juga semangat baru dalam bersosialisasi dan bermanfaat bagi orang lain.
Jadi, Idulfitri bukan sekadar ajang bersalaman dan mengucap “Minal aidin wal faizin.” Lebih dari itu, desa asal kita menjadi pusat refleksi bahwa Idulfitri bukan hanya tentang momentum perbaikan diri, tetapi juga momentum sosial. Selamat mudik, kawan-kawan! Selamat berkumpul dengan keluarga, dan selamat berefleksi di Idulfitri tahun ini.
Jembar Tahta Anillah
Mojokerto, 29 Maret 2025. Pejalan sunyi, penikmat karya Tuhan
Bisa disapa di akun instagram @jmbr_anillah