Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur: Negeri Baik Tak Cukup dengan Doa

Beberapa Jumat ini saya sudah mendengar beberapa ucapan khatib dalam mimbar salat Jumat tentang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Bahkan, doa itu sudah masuk dalam rangkaian doa-doa di akhir khutbah. Meskipun momen Agustusan atau Hari Kemerdekaan masih bulan depan, nuansanya sudah mulai tercium dan terasa. Tidak hanya soal khutbah Jumat tadi, beberapa lingkungan RT sudah mulai menghias lingkungannya dengan lampu-lampu, bendera, atau ornamen lainnya. Akhir bulan Juli ini tampaknya menjadi awal rakyat Indonesia menyongsong waktu paling bersejarah, yaitu Hari Kemerdekaan.

Seorang kiai atau pemuka agama ketika memasuki bulan Agustus, dalam ceramah dan doanya mayoritas akan menyebutkan bahwa semoga Indonesia menjadi negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Istilah tersebut sekarang hanya menjadi doa semata. Tidak pernah dibahas secara mendalam hingga benar-benar memahami apa yang dimaksud dalam doa itu. Mungkin, ada beberapa orang yang memaknai secara saklek, yaitu negara yang baik dan Tuhan yang Maha Pengampun. Itu tidak salah. Namun, sebelum menginjakkan kaki di bulan kemerdekaan, agar doa kita semakin mantap, mari kita maknai bersama dengan tadabbur cinta.

Baldah thayyibah atau negara yang baik—mengapa bukan negara yang benar (baldah al-haqq)? Mengapa harus memakai kata thayyib atau baik? Itu adalah sebuah harapan yang sangat dalam dan visioner. Baldah thayyibah bukanlah hal yang dirasakan oleh semua negara. Negara-negara yang dianggap maju seperti Amerika Serikat, Inggris, atau negara-negara Eropa pun belum tentu diberi kenikmatan baldatun thayyibah.

Namun, bukan berarti baldatun thayyibah itu haruslah negara Islam. Itu sangat keliru. Thayyib bukanlah tindakan yang bermakna identitas. Yang paling berbahaya adalah ketika kita menganggap tulisan Arab tersebut harus selalu bernuansa Islam secara simbolik. Padahal, thayyib atau baik adalah tataran paling dasar ketika seseorang menjadi manusia. Terlepas dari hukum teologis, berbuat baik adalah kewajiban manusia.

Kita sering diberi nasihat: “kerjakan sesuatu dengan baik dan benar.” Baik dan benar adalah tataran yang sangat berbeda tingkatnya. Dan keduanya merupakan dua hal yang berbeda. Benar adalah perbuatan, tindakan, atau ucapan yang sangat diyakini oleh diri sendiri sebagai realita yang sesungguhnya, tanpa peduli bagaimana situasi di luar sana, pendapat yang berbeda, atau bahkan bertolak belakang dengan realitas orang lain. Kebenaran semacam ini sering kali menimbulkan pertengkaran, sebab setiap manusia pasti memiliki kebenaran yang diyakini masing-masing.

Ketika kebenaran yang kita yakini hanya kita telan mentah-mentah tanpa perbandingan, tanpa perenungan atau perjumpaan dengan kebenaran lain, maka kita belum mencapai kata baik. Baik adalah situasi di mana sesuatu memiliki impactful dan meaningful—dampak yang bermanfaat dan perilaku yang dapat dimaknai sebagai pelajaran berharga. Hal ini akan memperkecil peluang konflik, apalagi yang sifatnya hanya “lempar-lemparan batu” di media sosial.

Harapan baldatun thayyibah sangat cocok sebagai kunci doa bagi Indonesia. Sebab, Indonesia yang penuh sesumbar tentang oposisi dan koalisi, pro-rakyat dan pro-pemerintah, seolah-olah terpecah dalam dua kubu besar yang masing-masing merasa memiliki kebenaran. Sayangnya, kebenaran yang diyakini oleh mereka bersama anggota partai atau pendukungnya itu tidak menghasilkan sesuatu yang impactful dan meaningful, tetapi malah menimbulkan eskalasi konflik. Bukan harmoni yang terbangun demi keberlangsungan sebuah negara yang thayyib, negara yang baik.

Variabel kedua adalah rabbun ghafur, Tuhan yang Maha Pengampun. Secara logika umum, jika Tuhan mengampuni, berarti telah terjadi sebuah dosa atau kesalahan. Karena ada dosa dan kesalahan, maka Tuhan mengampuni.

Memang, tak ada kebaikan yang sempurna di dunia ini. Normalnya sebuah kehidupan adalah adanya perpaduan antara baik dan buruk. Bahkan, manusia memiliki gelar maḥallul khaṭaʾ wa an-nisyān—tempatnya salah dan lupa. Karena memang inilah dunia. Di mana dualitas baik–buruk dan salah–benar menjadi komposisi yang niscaya.

Rabbun ghafur adalah perwujudan bahwa Tuhan di masa sekarang masih bersifat Maha Pengampun. Kesalahan yang terjadi sangat mungkin diampuni oleh Tuhan, karena saat ini yang diperlihatkan oleh-Nya adalah sifat rahmat dan kasih sayang. Namun, akan tiba waktunya Tuhan datang dengan sifat syadīd al-ʿiqāb—Yang Maha Pedih Siksa-Nya.

Lalu, bagaimana perwujudan negara yang diampuni oleh Tuhan? Negara adalah kumpulan manusia yang memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan buruk, salah dan benar. Negara tidak akan sepenuhnya dipenuhi oleh kebaikan tanpa sedikit pun kesalahan atau dosa. Karena negara tidak dihuni oleh malaikat yang tanpa nafsu, atau setan yang tanpa akal, tetapi oleh manusia yang memiliki akal dan nafsu. Sudah tentu ada kesalahan dan kebaikan.

Seberapa Tuhan mengampuni? Negara mana pun tak ada yang sempurna. Jadi wajar bila ada kesalahan-kesalahan kecil. Kesalahan yang masih dalam tataran yang pantas untuk diampuni oleh Tuhan. Harapan agar negara diampuni oleh Tuhan adalah bagaimana kesalahan dan dosa yang dilakukan oleh negara dan para pelayannya masih dalam taraf yang pantas diampuni oleh Allah.

Namun, yang terjadi sekarang rasanya sudah terlalu jauh. Dosa segelintir orang berdampak besar pada masyarakat yang sama sekali tidak ikut andil dalam perbuatan dosa tersebut. Diampuni atau tidak itu memang bukan ranah kita. Namun, jika dosa atau kesalahan dilakukan hanya demi kepentingan pribadi dan menimbulkan mudarat besar bagi rakyat, rasanya itu adalah dosa yang sangat sulit diampuni.

Jika dosanya hanya tidak salat, mabuk, narkoba, atau sejenisnya, mungkin itu urusannya masih sedikit lebih mudah karena hubungannya murni antara Tuhan dan hamba. Tobat adalah salah satu kunci untuk mendapatkan ampunan. Tetapi, jika urusannya korupsi, pembohongan publik, eksploitasi, dan sejenisnya—itu tidak hanya diselesaikan dengan tobat secara transendental, tapi juga memiliki pengaruh yang menjalar ke banyak pihak. Ini membuat penyelesaian dosa tersebut menjadi semakin sulit—bukan hanya kepada Tuhan, tetapi juga kepada sesama manusia.

Hal ini membuat baldatun thayyibah wa rabbun ghafur menjadi doa dan harapan besar kita. Kita tidak hanya melakukan dosa-dosa kecil yang mungkin bisa diampuni. Kita, sebagai warga negara, kadang lebih parah dari itu. Dan rasanya, dosa-dosa tersebut sudah sulit untuk dimaklumi.

Baldatun thayyibah wa rabbun ghafur adalah refleksi bagi kita. Apakah kita ingin itu hanya menjadi doa selamanya, atau sungguh menjadi kenyataan? Sebab jika dua hal itu benar-benar terwujud, negara akan berjalan dengan bijaksana dan seimbang, dan Tuhan pun akan meridai.

Pertanyaan selanjutnya: Apakah kita sudah sampai pada tahap untuk berpikir seperti itu? Apakah para pemimpin, pemangku kebijakan, sudah berpikir ke arah sana? Dan apakah kita sebagai rakyat siap untuk berpikir seperti itu, sedangkan kita masih disibukkan dengan hal-hal yang tak berguna? Kita masih mengurusi kehidupan artis-artis yang tidak membawa manfaat apa pun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita.

Sebelum mendoakan negara, mungkin langkah utama adalah mendoakan diri sendiri: agar tidak sibuk dengan hal-hal yang tidak penting dan tidak bermanfaat, serta berusaha sekuat tenaga mencapai cita-cita baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.


Jembar Tahta Anillah. Pejalan sunyi, penikmat karya Tuhan
Bisa disapa di akun instagram @jmbr_anillah

Narahubung Media:
Kontak BangbangWetan (0813-9118-2006)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top