Menikmati Jalan Tuhan

Sabtu kemarin, saya dan beberapa penggiat Bangbangwetan memiliki janji untuk bersilaturahmi dan wawancara dengan Prof. Muhammad Nuh sebagai bahan pembuatan buku biografi fotografis. Insyaallah, akan terbit Mei mendatang. Namun, informasi mengenai wawancara ini baru saya terima ketika saya berada di Mojokerto, hanya satu hari sebelum acara. Tapi tidak masalah, keesokan harinya saya berangkat ke Surabaya. Karena merasa sedikit mengantuk, saya memutuskan untuk menggunakan transportasi umum, yaitu kereta api.

Setelah sampai di Surabaya dan menyelesaikan wawancara, saya mengecek jadwal kereta menuju Mojokerto. Namun, tidak ada jadwal terdekat. Kereta berikutnya baru akan berangkat pukul 16.00, sedangkan saya telah selesai pukul 13.00. Akhirnya, saya memutuskan untuk menggunakan TransJatim. Setelah menunggu hampir 20 menit di halte, tidak ada satu pun bus TransJatim yang lewat. Ketika saya cek melalui live maps, ternyata tidak ada TransJatim yang menuju Mojokerto. Akhirnya, saya berencana naik bus Sugeng Rahayu jurusan Surabaya–Yogyakarta.

Saya langsung memesan Ojol untuk ke Terminal Bungurasih, Awalnya, saya berniat menaiki bus TransJatim atau Bus Bagong, tetapi yang datang lebih awal adalah Bus Sugeng Rahayu. Saya pun berpikir, “Ya wes lah, podo-podo nang Mojokerto e.” Saat saya sudah duduk dan bus akan berangkat, ada seseorang berpakaian abu-abu, berambut panjang, dan membawa selembar koran. Awalnya, saya mengira dia berjualan koran. Namun, dia berdiri di tengah kursi penumpang dan mulai membaca puisi.

Hal ini sangat unik bagi saya. Biasanya, orang yang mengamen menyanyi atau berjoget, tetapi orang ini justru membaca puisi. Entah puisi itu hasil karyanya sendiri atau bukan, saya tetap merasa excited mendengar dan merasakan hiburan yang berbeda di dalam bus Sugeng Rahayu yang terkenal cukup riuh.

“Jangan meniru saya… Semoga jalanmu nanti tidak seperti jalanku sekarang… Jalanku aku gantungkan di sini…”

Itulah beberapa penggalan puisi yang sangat menempel di pikiran saya. Saya cukup kaget karena orang ini membacakan puisinya dengan begitu mendalam. Saya yakin, ini bukan sekadar puisi biasa, melainkan ungkapan hati dan pengalaman hidupnya sendiri. Ketika mendengar puisi itu, saya teringat ucapan Mbah Fuad saat acara Ijazah Padhangmbulan. Saat itu, ada seseorang yang selalu berkata, “Pun niru kulo nggeh, kulo niki tiyang mboten sae.” Lalu, Mbah Fuad menanggapi, “Orang baik adalah orang yang selalu mengaku dirinya tidak baik.”. dan si pembaca puisi itu mempraktekkan bahwa “jangan meniru saya”.

Terlepas dari siapa pembaca puisi itu dan bagaimana kehidupannya sehari-hari, saya melihat bahwa dia memiliki kerendahan hati yang luar biasa. Sikap rendah hati ini sangat penting dalam menjalani kehidupan, baik dalam kondisi berkecukupan maupun dalam kemewahan. Namun, di saat yang sama, pikiran liar saya juga menyala. Saya mulai membandingkan antara pengamen kepada manusia dan manusia yang berdoa kepada Allah.

Saya menganalogikan bahwa jika seorang pengamen menampilkan sesuatu yang indah, orang akan menikmati dan lama memberikan uangnya. Namun, jika pertunjukannya mengganggu, orang akan cepat-cepat memberi uang agar dia segera pergi. Saya berpikir, apakah Allah juga seperti itu? Apakah Allah cepat mengabulkan doa seseorang bukan karena Dia menyukai orang itu, tetapi karena doa yang dimintanya terlalu neko-neko. Bisa jadi, Allah mengabulkan doa yang dipenuhi dengan permintaan berlebihan hanya agar orang itu berhenti berdoa. Sebab, kebanyakan orang yang sudah terkabul doanya sering kali lupa untuk kembali berdoa kepada-Nya. Apalagi dikabulkannya secara instan dan cepat. Tanpa usaha yang “rekoso”.

Si pembaca puisi di bus itu berkata, “Jalanku aku gantungkan di sini.” Itu adalah doa yang terus ia lantunkan di bus-bus lainnya setiap hari. Dia ridho dengan kehidupannya. Allah tidak memewahkan hidupnya karena mungkin Allah masih menikmati lantunan keridhoan dari puisinya. Dia tidak hanya meridhokan hidupnya, tetapi juga mendoakan orang-orang di sekitarnya agar kelak memiliki masa depan yang lebih baik. Itu sesuatu yang luar biasa. Semoga Allah sudah “tuwuk” mendengar doa-doa dan puisinya, sehingga kelak dia bisa menikmati hasil dari doa-doanya bersama keluarganya. Sebab, doa yang diperjuangkan dalam waktu yang lama tanpa rasa bosan dan putus asa akan tetap abadi, meskipun sudah terkabul.

Sesampainya di Mojokerto, saya turun dari bus dan perlu menaiki ojol sekitar tiga kilometer menuju stasiun, tempat saya memarkir sepeda motor. Saat itu, hujan turun cukup deras. Namun, satu-satunya pilihan saya adalah naik ojol, karena tidak ada angkutan lain ke arah stasiun. Saya berpikir, hujan ini mungkin akan berlangsung lama, jadi saya putuskan untuk menerobosnya.

Saya memesan ojol dalam situasi hujan deras, Driver ojol adalah pihak yang paling merasakan dampaknya, karena banyak orang lebih memilih ojol mobil atau transportasi lain yang lebih tertutup. Itu yang menjadi motivasi saya untuk tetap menaiki ojol. Biarlah basah, toh, enak juga saat sedang berpuasa, terkena hujan jadi terasa lebih segar.

Setelah ojol saya datang, saya pun naik ke motor. Spontan saya bertanya, “Sepi, nopo, Pak?” Dia menjawab dengan nada excited, “Jelas sepi, Mas. Cuma tadi keliling-keliling aja cari customer. Eh, ndak sengaja kok sampean pesan. Tak kira notifikasi GoFood, tapi kok Gojek. Sampean ndak papa, kan hujan gini?” Dengan penuh semangat saya menjawab, “Aman, Pak. Saya menikmati.”

Saya teringat tulisan Mbah Nun dalam buku Tuhan Pun Berpuasa. Mbah Nun menyinggung tentang konsep “kesengajaan.” Kita sering mengalami fenomena yang kita anggap sebagai ketidaksengajaan, sesuatu yang terjadi tiba-tiba dan tanpa direncanakan. Namun, sebenarnya, Allah sengaja melakukan itu. Dalam hidup, selalu ada campur tangan Allah. dan memang itu hak allah kepada hambanya.

Pertemuan saya dengan bapak pengemudi ojol itu, jika dilihat dari sudut pandang manusia, memang tampak sebagai kebetulan. Namun, jika kita melihatnya dari sudut pandang seorang hamba, itu adalah kejadian yang disengajakan oleh Allah. Tugas bapak ojol itu hanyalah berikhtiar untuk mencapai rencana yang telah Allah rancang. Oleh karena itu, dalam setiap urusan, kita harus selalu melibatkan Allah. Asalkan kita berusaha, Allah akan memberikan yang terbaik.

Bahasa gampangnya, “Kita punya kendala, Tuhan punya kendali.” Rencana dan tujuan hidup kita sudah dirancang dengan baik oleh Tuhan. Tinggal kita yang berusaha mencapainya dengan terus mencari, mensyukuri, dan menikmati jalan yang telah ditentukan-Nya.

“Semangat ya, Pak,” kata saya kepada bapak ojol saat sampai di stasiun. Itu adalah ucapan penutup perjalanan saya menikmati jalan Tuhan. Semoga saya dapat terus diperjalankan kembali di jalan Tuhan yang indah dan bermakna.

 

 

 

 

Jembar Tahta Anillah
Pejalan sunyi, penikmat karya Tuhan
Bisa disapa di akun instagram @jmbr_anillah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top