MIE PEDAS LEVEL SATU

Satu menit lagi waktu menunjukkan pukul 3 sore. Keraguanku masih saja belum kelar, antara memuaskan rasa ingin makan mie pedas atau membeli barang lain yang mungkin saja lebih aku butuhkan. Padahal semalam, keraguan itu tidak muncul sama sekali. Gerakan jariku cepat sekali bertindak membuka gembok HP yang kini layarnya sudah retak sana sini. Saking antusiasnya, kelima jari kupakai untuk mempercepat pesanan mie pedas yang levelnya masih cupu, satu. Tak lupa kutambah pesanan mie yang tak pedas untuk suami demi bukti rasa perhatian yang memang sudah jadi komitmen kami untuk selalu kami jaga, terutama urusan perut. Akhirnya, langkah pembayaran segera kuproses, semua sudah siap, dari saldo hingga mental membara untuk menyantap kuliner itu di tengah hujan. Klik, sistem pun mencari driver terdekat.

Karena terlalu berbaik sangka, semua akan indah di akhir pemesanan, makanan bisa kusantap segera. Wajar kan kalau pikiranku jadi mesum, melahap habis-habisan semua yang sudah kupesan. Ternyata hidup memang benar kata mereka. Ada saja yang diuji. Anggap saja ujian semalam yang kuhadapi itu uji nyali. Nyali untuk hadapi rasa ngotot yang ujungnya mungkin saja berakhir dengan kekecewaan, bukan kepuasan sesuai yang dimau, untuk makan mie pedas. Sifat yang kubenci sekaligus kuapresiasi, kengototan yang mengurat dari hati menjalar ke otak demi apa yang didamba. Seringnya untuk hal sepele bagi mereka, tapi tidak untuk aku. Karena mie yang kupesan hari ini adalah mie pedas yang akan melewati hujan lebat dan genangan air yang mungkin malam itu tingginya melebihi leher bebek dewasa. Jika pesanan itu berhasil sampai di tangan, sungguh kebanggaan itu jadi milik kami, pemilik jasa pesan-antar makanan, driver, dan juga aku. Jelas pemilik jasa dan driver jadi bangga karena bisa menunjukkan kepiawaiannya menyelesaikan pesanan meski di cuaca yang seringnya dijadikan kambing hitam untuk hampir semua bencana, padahal ulah manusia. Nah, kalau aku, rasa bangga yang muncul nantinya bakal jadi wujud kemenangan atas prasangka yang sengaja aku afirmasi sejak awal, meski akhirnya semua meleset. Pesanan ditolak setelah penantian sekitar 30 menit, banjir jadi alasan utamanya.

Kecewa, pasti saja. Demi menebus rasa itu, kuulangi pemesanan semalam. Kali ini tidak dengan antusiasme yang menggebu-gebu, tenang kutekan pesanan semalam, berlanjut ke laman pembayaran yang saldonya masih sama dengan semalam. Klik “pembayaran”, semua selesai dan kupasrahkan semuanya pada yang di Atas, Sang Penentu cuaca hari ini, apa akan tetap cerah atau tiba-tiba hujan deras? Apapun itu, kuharap mie pedas bisa kusantap hari ini. Untungnya, Tuhan berpihak pada hamba yang masih belajar mengaji rasa ini. Tidak sampai 10 menit, pesanan diterima, driver pun sudah didapatkan. Tapi kenapa hati masih belum saja lega? Padahal perut sudah dijamin dengan rasa kenyang nantinya. Oh, ternyata ada ego semalam yang masih kelaparan.

 

Ayu Saraswati, Dosen Prodi Sastra Inggris Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya dan seorang perempuan yang suka mengangkat kisah-kisah kecil yang sering terabaikan. Dari kegelisahan kaum paruh baya, curhatan kawan di warung kopi, sampai drama para tetangga.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top