Pengorbanan dan Keikhlasan “Sang Werkudara”

Bagikan

Sosok pendiam yang oleh kebanyakan JM biasa disapa Cak Mif ini bernama lengkap Miftachussurur. Lahir di sebuah desa nan tenang bernama Mentoro, pada 28 Mei 1951. Miftachussurur merupakan nama pemberian sang kakek, Mbah Abdul Latif (alm.) yang menurut penuturannya juga merupakan sosok yang memberi nama kepada seluruh putra-putri Ayah Muhammad dan Ibu Chalimah.

Ketika reporter BMJ menemui Cak Mif di kediamannya, Jl. Gubernur Suryo IV Blok C-8, Jombang, tampak ketenangan dan keteduhan terpancar ketika beliau menceritakan banyak hal mulai dari pengalaman hidup di Yogyakarta hingga akhirnya menjalani kesunyian mulia sebagai sebagai seorang guru di desa kelahiran.

Suatu Masa di Yogyakarta

Cak Mif mulai hijrah ke Yogyakarta menyusul sang kakak (Cak Fuad) setamat SMP pada tahun 1966. Tujuan utamanya adalah untuk melanjutkan studi di kota pendidikan itu. Saat itu Yogyakarta menjadi primadona karena biaya sekolah yang tergolong murah apabila dibandingkan kota lain.

Sempat ikut tes dan dinyatakan diterima di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta, Cak Mif memutuskan tidak mengambil kesempatan tersebut karena tidak sanggup membayar uang gedung sebesar 1000 rupiah. Nominal yang tergolong cukup besar di era itu. Kemudian beliau mendaftar di satu-satunya SMA negeri di Jombang pada saat itu, namun kembali tidak diambil dengan alasan yang sama. Akhirnya Cak Mif bersekolah di SMA Teladan Yogyakarta (kini SMA Negeri 1 Yogyakarta) yang saat itu uang gedungnya hanya 100 rupiah.

Selama setahun pertama di kota gudeg, bersama sang kakak yang saat itu sedang berkuliah di IAIN Yogyakarta (kini Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga) dan tiga kerabat lain, Cak Mif indekos di dekat masjid Suronatan, Ngampilan, Yogyakarta. Sebelum akhirnya pindah ke sebuah gandok yang dikontrakkan di daerah Kadipaten Lor nomor 17, Kraton, Yogyakarta. Di gandok itulah Cak Mif mengaku mulai belajar hidup.

Dipelopori oleh Cak Fuad yang menerima jasa pengetikan, masa SMA Cak Mif dihabiskan dengan membantu usaha tersebut yang hasilnya digunakan untuk membiayai sekolah sekaligus menyambung hidup. “Pagi sekolah, sore kerja sampai malam”, tutur Cak Mif.

Sebuah mesin ketik milik Ayah Muhammad yang diboyong ke Yogyakarta oleh Cak Fuad menjadi bekal usaha  yang awalnya hanyalah jasa pengetikan skripsi, laporan, dsb. Secara bergantian Cak Fuad dan Cak Mif ibaratnya menjadi juru ketik bagi mereka yang membutuhkan jasa. Dari situlah Cak Mif mulai mengenal dunia tulis-menulis dan percetakan.

Lambat laun usaha tersebut semakin berkembang hingga mampu mencicil sebuah mesin stensil. Semenjak ada mesin itu, dari yang awalnya hanya jasa pengetikan menjadi usaha percetakan majalah, buku, dsb. Pelanggan rata-rata merupakan mahasiswa yang mencetak majalah kampus, baik itu dalam cakupan jurusan, fakultas, sampai ormawa. Tak jarang pula apabila bahan tulisan kurang, maka selain mencetak, mereka juga bertugas mengisi majalah tersebut apa saja agar tidak ada halaman yang kosong.

Menurut Cak Mif, yang biasa mengisi kekosongan bahan tersebut dengan tulisan, kata mutiara, anekdot, dll adalah Cak Fuad dan Cak Nun.

Sekadar informasi bahwa Cak Nun sendiri mulai ikut ngontrak di Yogyakarta bersama Cak Fuad dan Cak Mif sekitar tahun 1968. Saat itu Cak Nun masih kelas 3 SMP. Beberapa tahun kemudian, tepatnya sekitar tahun 1971, Cak Nas dan Cak Dil juga turut menyusul ketiga kakaknya ke Jogjakarta. Lengkaplah Pandawa tinggal dan menjalankan usaha bersama di daerah Kadipaten.

Usaha stensilan di gandok tersebut terus berjalan hingga Cak Mif lulus SMA dan melanjutkan studi di Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

Amanah Sang Ayah

Pada 17 Agustus 1973, Cak Mif menyempatkan pulang ke Mentoro setelah mengantarkan pesanan buku ke sebuah pondok pesantren di daerah Rejoso, Jombang. Namun ketika pamit untuk kembali ke Yogyakarta, sang ayah berpesan untuk menunda keberangkatan. “Ojo mulih sek! Besok ayah lungo entenono nek teko”, begitu kalimat ayah yang dituturkan kembali oleh Cak Mif.

Ternyata, itulah iradatullah, karena pada 19 Agustus 1973, Ayah wafat setelah mengalami kecelakaan lalu lintas di daerah Gedangan, Sidoarjo.

Cak Mif yang kemudian diperintahkan Ibu untuk menyusul ke RSUD Sidoarjo karena berbagai kendala komunikasi dan transportasi saat itu akhirnya justru tlisipan dengan jenazah ayahanda yang dipulangkan ke Sumobito, rumah asal Ayah Muhammad. Karena hal itulah, Cak Mif, dan kakak adik yang tinggal di Yogyakarta tidak sempat menyaksikan proses pemakaman ayahanda.

Ayah Muhammad wafat dengan meninggalkan warisan yang lebih dari sekadar harta keduniawian. Warisan jariah tersebut berwujud sekolah TK dan Madrasah Ibtidaiyah (MI). Dengan berbagai pertimbangan, Cak Mif memutuskan cuti kuliah sementara dan tinggal di kampung halaman untuk melanjutkan perjuangan ayahanda dalam mengelola sekolah.

Dalam tahun awal mengelola, Cak Mif menemukan suatu kasus di mana sangat jarang anak didik lulusan MI yang melanjutkan ke jenjang SMP sederajat dengan alasan jauhnya jarak. Berangkat dari kasus tersebut Cak Mif memutuskan mendirikan sebuah SMP di Mentoro agar tidak ada lagi anak yang putus sekolah karena kendala jarak sekolah yang jauh.

Dengan berdirinya sebuah SMP, bertambah pulalah hal yang harus dikelola oleh Cak Mif. Sehingga dari yang awalnya hanya berencana cuti kuliah, menjadi harus meninggalkan bangku kuliah Farmasi UGM yang telah dijalaninya selama 3 tahun.

Apakah tidak eman-eman? Pertanyaan yang sampai saat ini masih sering ditanyakan kepada Cak Mif terkait keputusan tersebut. “Saya dididik agar tidak hanya mementingkan diri sendiri, tapi juga masyarakat”, begitu jawab Cak Mif terkait pertanyaan di atas. “Karena kalau meneruskan kuliah di farmasi, lulus paling jadi apoteker atau bekerja di lembaga penelitian”, tambah Cak Mif.

Bagi Cak Mif, seorang guru memiliki peran yang jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat karena bisa terjun langsung dalam mendidik mereka. Asas manfaat itulah yang membuat Cak Mif ikhlas dan tidak merasa eman melepas kuliah yang sebenarnya tinggal sedikit lagi.

Pendidikan Ala Cak Mif

Ada hal yang menarik yang reporter BMJ tangkap ketika berbincang dengan Cak Mif tentang pengelolaan sekolah dan pengajaran anak didik. Bagaimana caranya seseorang yang tanpa pengalaman mengelola lembaga pendidikan dan dasar pendidikan keguruan bisa menjadi seorang guru, sekaligus pengelola sekolah, bahkan mendirikan sekolah setingkat SMP?

“SMP waktu mendirikan itu nol. Saya ndak ngerti wong ndak pernah ngurusi sekolah. Kami tidak daftar, pokoke sekolah jalan dulu. Kurikulum ndak ngerti, pokoke cari buku SMP dulu”, begitu tutur Cak Mif yang menggambarkan bahwa beliau benar-benar otodidak dalam mengelola sekolah.

Pada awal berdiri, SMP tersebut hanya memiliki dua orang guru. Cak Mif dan seorang rekan guru yang otomatis harus merangkap-rangkap dalam mengajar. Untuk biaya sekolah dari anak didik pun Cak Mif berunding bersama para wali murid untuk mengumpulkan padi seberat 15kg/siswa/tahun, yang kemudian dikelola untuk pada akhirnya digunakan sebagai imbal jasa bagi guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut.

Dalam pengajaran di kelas, Cak Mif sangat menerapkan istilah Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) bahkan sebelum istilah itu ada. Jadi tak heran kalau ada lulusan MI dan SMP Mentoro yang menjadi lulusan terbaik se-Kawedanan Mojoagung.

“SMP berjalan tiga tahun tanpa ijin dan tanpa kurikulum. Tapi lulusannya bisa lebih baik daripada sekolah yang kami tumpangi untuk ujian”, tutur Cak Mif.

Tidak ada mata pelajaran khusus bagi Cak Mif ketika mengajar di kelas. Ibaratnya, jam pelajaran apa yang kosong, maka itulah yang akan diajarkan. Jadi tak heran kalau Cak Mif pernah mengampu banyak mata pelajaran, mulai dari matematika, fisika, kimia, dan pelajaran lainnya. Namun dari semua itu pengajaran yang terpenting bagi murid adalah nilai-nilai penghormatan pada guru.

Menurut Cak Mif, salah satu kesalahan buku pelajaran di sekolah sekarang terutama pelajaran IPA adalah tidak kompatibelnya antara materi dan contoh kasus di buku dengan realitas yang dihadapi oleh anak didik, dan celakanya banyak guru yang tidak memodifikasi materi tersebut sebelum diajarkan kepada muridnya. Padahal ilmu bisa diajarkan dengan cara yang berbeda dan mempergunakan logika dalam melihat alam tanpa harus keluar dari bab yang sedang diajarkan. Istilahnya adalah men-tadabbur-i alam agar kita terlatih untuk berpikir.

Cak Mif memberikan banyak contoh tentang hal di atas kepada reporter BMJ, namun setidaknya kami akan babarkan dua contoh. Pertama, bab belajar dari benda hidup. Cak Mif menggunakan contoh pohon pisang yang banyak tumbuh di lingkungan sekitar. Kalau kita memotong pohon pisang, pohon tersebut tetap hidup. Namun apabila pohon pisang telah berbuah, maka akan mati, dan tunas-tunas baru yang tumbuh di sekitarnyalah yang akan melanjutkan kehidupan. Dari analogi pohon pisang tadi Cak Mif berpesan, “Sebelum kamu berhasil, ojo leren sinaumu. Jangan putus asa sebelum berhasil”.

Kedua, bab belajar dari benda mati. Cak Mif mencontohkan melalui air. Bentuk air akan mengikuti wadahnya, tidak bisa dipisah, dan bisa berubah wujud menjadi es atau uap. Dari situ kita bisa belajar bahwa air adalah makhluk yang dinamis. “Kita harus dinamis. Kalau diam akan timbul penyakit. Seperti air di bak mandi yang lama tidak dikuras, lama-lama akan berlumut”.

Itulah sosok Cak Mif ketika membahas tentang pendidikan. Seorang guru sekaligus pengelola lembaga pendidikan otodidak yang begitu menekankan pada akhlak, kejujuran, logika berpikir, dan pentingnya sebuah proses pada seluruh anak didiknya.

Peran Kakak dan Juga Bapak

Sebagai kakak yang dua tahun lebih tua ketimbang Cak Nun, wajar apabila Cak Mif paham betul tentang perangai adiknya. Menurut beliau, sejak kecil Cak Nun memang telah tampak ambisius dalam hal-hal kebenaran, sangat kritis, dan patuh pada prinsip. Tentu hal tersebut bukan sebuah masalah seorang kakak yang memahami keinginan dan keteguhan adiknya.

Pernah pada suatu hari, Cak Nun kecil ingin pergi ke Mojokerto. Berangkatlah Cak Nun didampingi Cak Mif dengan kereta api pada pukul lima pagi dari stasiun Sumobito. Sesampainya di stasiun Mojokerto, Cak Nun hanya melihat-lihat sejenak suasana di sekitar stasiun dan segera mengajak Cak Mif untuk pulang ke Mentoro. Cak Mif sedikit bingung karena kereta arah Jombang masih sekitar tiga jam lagi.

Gak usah ngenteni sepur. Mlaku lak uwes”, kata Cak Nun kala itu.

Akhirnya berjalan kakilah Cak Mif dan Cak Nun menyusuri rel kereta api. Setiba di daerah Curahmalang, lewatlah kereta api arah Jombang.

Gelemo ngenteni mau lak numpak sepur”, kata Cak Mif pada adiknya.

Lak gak eruh rasane mlaku, sampean“, jawab Cak Nun kecil.

Masih menurut Cak Mif, saat kelas satu SMA dan dipercaya sebagai ketua OSIS, Cak Nun pernah mengancam akan mengundurkan diri karena ada salah satu program OSIS yang tidak disetujui oleh kepala sekolah. Begitu juga saat Cak Nun dipanggil oleh kepala sekolah karena sering tidak ikut pelajaran agama Islam.

“Saya kan di luar mendengarkan”, argumen Cak Nun kala itu.

“Lha, kok begitu?”, tanya seorang guru.

“Saya kan mengikuti bapak. Bapak pernah mengatakan jangan dilihat siapa orangnya yang mengajarkan sesuatu, yang penting isinya apa”, jawab Cak Nun.

Dan, memang benar apa yang dikatakan, karena begitu diuji tentang pelajaran apa yang tadi diajarkan di kelas, Cak Nun mampu menjawabnya.

Biasanya saat ada suatu kejadian di sekolah, Cak Mif lah yang berperan sebagai wali murid Cak Nun yang kemudian datang untuk berbincang dengan kepala sekolah.

Terlepas dari hal di atas, menurut Cak Mif, Cak Nun sebenarnya tipe adik yang tidak mau merepotkan kakak-kakaknya selama tinggal bersama di Yogyakarta. Serta tentunya banyak lagi cerita tentang kemesraan Cak Mif dan Cak Nun yang belum bisa ditulis secara gamblang di BMJ edisi ini.

***

Dalam memandang Maiyahan khususnya Padhangmbulan, Cak Mif bersyukur semakin banyak anak muda yang hadir di Maiyahan. Namun, bapak enam anak ini tak lupa berpesan kepada para JM agar istiqomah, konsisten, dan meluruskan niat kalau ke Padhangmbulan. Terutama kalau niat kita belum benar.

Pesan Cak Mif kepada para JM seperti begitu juga kepada para muridnya adalah kalau menentukan tujuan apapun dalam hidup itu harus jelas, pasti, dan benar. Karena kembali ke fungsi manusia yg pertama yaitu ‘abdullah namun perlahan harus meningkat menjadi khalifatullah.

Kini setelah keenam buah hatinya (Muhammad Sholahuddin, Nur Imamah Dianing BN, Faida Hidayati, Anita Puspitasari, Teguh Azmi Pamungkas, dan M. Faiq Imamuddin) hidup mandiri dan tinggal berjauhan, Cak Mif tenteram di griya sederhana bersama sang istri ibu Khoirotin, dan masih terus istiqomah mengajar di Mentoro. Karena mengajar merupakan sarana untuk belajar dan hiburan sekaligus untuk memantau proses pengelolaan sekolah.

“Sebab kalau tidak mengajar itu tidak enak, selain itu juga  untuk terus belajar serta mengetahui perkembangan”, pungkas Cak Mif sebelum reporter BMJ pamit undur diri.

 

Tulisan ini pernah dimuat di BMJ edisi spesial Menyorong Rembulan, Mei 2018/Ramadhan 1439 H (Tim Buletin Maiyah Jatim)

2 komentar untuk “Pengorbanan dan Keikhlasan “Sang Werkudara””

    1. Bismillah, semoga Alm Cak Mif husnul khotimah & mendapat kemuliaan di Sisi Allah SWT. Berkah Ilmu yang bermanfaat fid dunya wal akhirat 🙏

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *