Kudatangi Kau dengan Kopiku

Bagikan

Oleh : Wahyu Widhi Wicaksono

“Harga diri seorang lelaki dalam keluarganya adalah bekerja.” Begitulah obrolan yang sering terdengar di warung kopi. Bekerja selain sebagai ibadah adalah kewajiban bagi seorang lelaki untuk menafkahi keluarganya. Salah satu bentuk pencarian nafkah ini adalah berdagang yang juga dicontohkan Rasulullah SAW dalam kisah-kisah sebelum kenabian.

Apapun jenis pekerjaannya, siapa pun tak boleh menghina atau menertawakannya. Nilai-nilai kemanusiaan dan kesopanan seharusnya menjadi landasan dalam berinteraksi dengan sesama. Kami ceritakan kembali kisah seorang pedagang kopi yang terkadang juga membawa es teh dalam nampannya pernah dikulik oleh redaktur BMJ sewindu yang lalu dalam rubrik Alter Ego.

 

Alter Ego

Kudatangi Kau dengan Kopiku

Kopi, bagi sebagian besar dari kita, adalah minuman wajib saat Maiyahan. Rasa kantuk, dinginnya udara malam, rokok yang sambung menyambung sambil menyimak paparan ilmu dari sumur-sumur Maiyah, akan terasa lebih nikmat bila ditemani segelas kopi panas.

Tak perlu usaha keras mendapatkan kopi saat Maiyahan. Pojok Ilmu selalu setia menyediakan, dari kopi hitam bubuk sampai kopi instan beraneka ragam. Cukup dengan modal dua tiga lembar uang ribuan dan kesabaran mengantri, segelas kopi panas dalam gelas plastik pun siap dinikmati.

Saat membutuhkan kopi tapi enggan beranjak dari tempat duduk karena pemaparan narasumber sedang asyik-asyiknya, merasa sungkan jika harus menyibak kerumunan yang padat, atau malas mengantri di Pojok Ilmu, Jamaah Maiyah biasanya menunggu seseorang yang menyibak kerumunan jamaah yang lesehan dengan membawa nampan berisi beberapa gelas plastik kopi,”Kopi… kopi… yang kopi,” begitu cara dia menawarkan kopinya.

Itulah Sony, pria asli Surabaya yang mulai berjualan kopi di BangbangWetan sejak empat tahun silam. Berbeda dengan almarhum Pak nDut (dan sekarang Bu Shofi) yang standby di Pojok Ilmu, Sony mengedarkan kopi ke tengah-tengah jamaah menggunakan nampan yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga memungkinkan gelas-gelas kopi yang dibawanya tidak tumpah.

 

Sony, Penjual kopi dari Surabaya

 

Bermodalkan tabung gas elpiji 3 kg, kompor gas kecil, panci, serta timba plastik untuk menampung air, Sony berjualan kopi di setiap acara Maiyahan.

Tidak hanya saat BangbangWetan saja dia berjualan, melainkan juga forum rutin Padhang mBulan, Mocopat Syafaat, juga Gambang Syafaat pernah dia singgahi. Sony juga akan hadir berjualan jika ada acara Maiyahan Cak Nun & KiaiKanjeng di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

“Jawa Tengah wis tak parani kabeh, Mas. Prei Magelang dan Purwokerto,” pengakuannya kepada BMJ di sela-sela kesibukannya meracik kopi di BangbangWetan September lalu.

Semua peralatan berjualan itu dia bawa menggunakan motor atau naik bus. Ada pengalaman kurang mengenakkan saat pertama kali naik bus. Kru bus antarkota begitu tahu Sony membawa tabung gas elpiji langsung menyuruhnya turun. Sebelum dia sempat duduk.

“Sejak itu saya akali kalau naik bus. Tabung ini saya masukkan timba, atau gimana caranya biar ndak kelihatan. Kalau Mocopat Syafaat saya tidak perlu membawa tabung elpiji lagi. Banyak warga yang saya kenal erat layaknya saudara. Saya biasa meminjam tabung elpiji ke mereka”.

Atmosfer yang tidak dia rasakan di pengajian-pengajian lain dan nuansa paseduluran yang erat di Maiyah lah yang membuat Sony betah. Maiyah juga diyakininya membawa keberkahan sendiri dalam hidupnya.

“Saya itu mendapatkan banyak dari Maiyah. Mendapat ilmu, juga istri, yang saya temui saat mengikuti Mocopat Syafaat. Rumah tangga tenang, dan alhamdulillah dari pernikahan ketiga ini saya akhirnya dikaruniai seorang putra. Lahirnya tepat sehari sebelum Ihtifal Maiyah, 26 Mei 2016. Saya beri nama Ridho Ainun Nadjib.”

Keinginannya sederhana, yaitu mengikuti jejak almarhum Pak nDut. Keistiqomahan Pak nDut yang selalu datang Maiyahan melayani jamaah yang membutuhkan (kopi), rupanya menimbulkan inspirasi bagi Sony.

“Saya tidak pernah bertemu dan ngobrol langsung dengan Pak nDut, Mas. Tapi dari biografi yang dimuat di bulletin (BMJ – red), saya mempunyai niat untuk mengikuti jejak beliau”. Begitu ungkapnya mengakhiri obrolan dengan BMJ untuk kemudian meneruskan lelakunya. “Kopi… kopi… yang kopi.”

Wahyu Widhi Wicaksono, Unconsciously addicted to crisis. Bisa disapa di Ig @kakakwidhi.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *