Latihan Masuk Surga

Ngix… Cruut..!

Bunyi itu terdengar saat ban bocor menyemburkan air hujan yang terperangkap di dalamnya. Aku sengaja memompanya, agar ada tekanan udara yang mendorong sisa air keluar dari ban. Saat itu hujan turun deras di tengah malam, dan motor tak bisa dikendarai. Aku pun harus mendorongnya pulang—sekitar tiga kilometer jauhnya jika dilihat dari Google Maps. Basah, lelah, gelap, dingin. Tapi entah kenapa, semua itu terasa indah.

Malam itu, aku tidak hanya mendorong sepeda motor, tapi juga mendorong diriku sendiri untuk terus maju meski segala kondisi menentang. Di situ aku mengalami banyak hal dalam satu waktu: kerja keras, daya tahan tubuh, kejengkelan, kesendirian, keterbatasan, harapan, keputusasaan, semangat, dan yang paling dalam—kesadaran akan kebersamaan dengan Allah.

Karena aku percaya, rezeki dari Allah tak selalu berupa uang. Maka malam itu pun kuanggap rezeki yang sangat berlimpah. Tentu saja tidak seagung Isra’ Mi’raj Kanjeng Nabi, tapi tetap sebuah perjalanan malam yang membuatku merasa diperjalankan oleh-Nya. Dan itu cukup membuatku merenung tentang betapa besar dan ajaibnya perjalanan Mi’raj itu.

سُبْحَانَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًۭا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَى ٱلَّذِى بَـٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَـٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Al-Isra: 1)

Aku tahu, rasa lelah dan segala perasaan malam itu akan memudar seiring waktu. Tapi satu hal yang tak bisa hilang: aku merasa diperhatikan Allah. Di tengah gelap dan derasnya hujan, ketika semua orang tertidur dan tak ada yang bisa membantuku, aku merasa Allah sedang menatapku. Dekat. Itulah yang membuatku tidak menyerah. Karena jika malam itu aku berhenti, aku akan merasa malu kepada-Nya.

Beberapa hari kemudian, pikiran ini muncul: mungkin hidupku selama ini memang seperti malam itu. Aku berjalan sendirian. Tidak ada yang sungguh-sungguh memperhatikan, kecuali Tuhan—tentu bersama Kanjeng Nabi. Aku tidak tahu pasti apakah ini benar, tapi aku percaya. Dan itu cukup bagiku.

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kalanganmu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyayang dan pengasih terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah: 128)

Lalu, apakah kesadaran itu membuatku merasa nelangsa? Tidak. Bahkan sebelum rasa itu muncul, sudah aku buang jauh-jauh. Karena aku ingat puisi Mbah Nun tahun 1995, puisi yang begitu dalam:

Ternyata, aku tidak sendiri dalam kesendirian ini. Bahkan Mbah Nun pernah menempuhnya. Barangkali semua orang juga sedang menapaki jalan sunyi masing-masing. Maka aku tidak ingin merasa istimewa hanya karena merasa sendiri.

Namun di antara manusia-manusia yang merasa sendiri itulah muncul Maiyah—tempat di mana kesendirian kita tidak terasa sepi. Sebuah ruang ajaib, tempat orang-orang yang sunyi bisa bersama, meski tetap sendiri. Mungkin, seperti itulah surga: sendiri-sendiri, tapi dalam kebersamaan yang utuh. Seperti kata Mbah Tanto Mendut, “Maiyah ini tempat kita latihan masuk surga.”

Lalu aku bertanya pada diriku sendiri: “Apa yang sebenarnya harus kulakukan dengan Maiyah?” Jangan-jangan selama ini aku hanya menjadikannya tempat pelarian—ruang teduh untuk menenangkan hati, lalu kembali ke hidup yang penuh luka, kepalsuan, dan kesombongan.

Maiyah seharusnya tidak hanya ‘diseduh’ seperti kopi hangat di senja hari. Tapi dituangkan kembali ke dalam kehidupan. Kalau di Maiyah belajar sabar, maka praktikkan meskipun pesan tak dibalas. Kalau belajar rendah hati, maka jangan tinggi hati hanya karena punya banyak pengikut media sosial. Kalau belajar mendengar, maka diamlah meski ada hoaks menggelitik jari untuk mengetik.

Maiyah bukan untuk disimpan di catatan, di galeri ponsel, atau di status Instagram. Ia harus hidup. Dan jika semua itu terasa berat, tenang saja—aku pun merasa begitu.

Maka mari kita teruskan hidup, meski kadang aneh, tak masuk akal, atau membuat kita ingin menyimpan kepala di freezer minimarket. Jika suatu saat nanti hidup terasa terlalu sunyi, terlalu sepi, terlalu bocor—ingatlah, ada Maiyah. Dan jika benar-benar harus sendiri, maka kita setidaknya sendiri bersama-sama.

Atau, kalau sudah tak tahu lagi harus apa, mari kita bikin kaos dengan tulisan:

“Maaf, saya sedang latihan masuk surga. Kalau nyebelin, tolong dimaklumi.”


M Yudha Iasa Ferrandy. Pembelajar di Maiyah. Instagram  : @myudhaif. WhatsApp : 082377842632

Narahubung Media:
Kontak BangbangWetan (0813-9118-2006)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top